Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan agar Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ikut melakukan pelacakan terhadap sumber dana para peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020 untuk dapat mencegah politik uang.

"KPK merekomendasikan untuk bekerja sama dan berkoordinasi dengan PPATK karena PPATK punya kemampuan untuk melacak transaksi keuangan yang digunakan untuk 'money politic' karena kajian KPK sebelumnya 82 persen peserta pilkada didanai sponsor, bukan dari pribadi, jadi ada aliran dana dari sponsor ke calon pemimpin daerah," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di gedung KPK Jakarta, Jumat.

Baca juga: Erick Thohir tidak ingin Pilkada jadi gelombang ketiga COVID

Ghufron menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers virtual "Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan COVID-19 dan Korupsi". Konferensi pers itu adalah paparan dari butir-butir rekomendasi dari seminar yang sebelumnya sudah dilakukan KPK dengan topik yang sama.

"Rekomendasi selanjutnya adalah pembuatan peta risiko daerah peserta pilkada berbasis karakteristik wilayah karena daerah-daerah di Indonesia mulai Aceh sampai Papua jenis kerawanannya berbeda, ada yang berbasis suku, agama, hingga ketimpangan sosial," tambah Ghufron.

Rekomendasi ketiga adalah melakukan pengawasan ketat dalam berbagai program penanganan COVID-19 dan distribusi bantuan sosial.

"Di banyak daerah yang kami pantau, kalau ada petahana yang akan ikut pilkada lagi, petahana menggunakan momen COVID-19 dengan memberikan bansos untuk kampanye terselubung. Meski KPK sudah melarang beras para petahana menempeli foto mereka di bansos tapi momen pilkada tetap bisa ditumpangi kampanye terselubung," ungkap Ghufron.

Rekomendasi keempat adalah kepala daerah yang ikut Pilkada Serentak 2020 agar dilarang menjadi ketua satuan tugas penanganan COVID-19 di daerah.

"Agar satgas murni berkegiatan untuk kemanusiaan tidak ada sangkutan pilkada, tapi ini kami lihat memang masih belum mungkin dilakukan," tambah Ghufron.

Rekomendasi kelima adalah terkait upaya untuk menjaga netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga fungsi pelayanan publik dalam masa pilkada tetap dapat berjalan dengan baik.

"Netralitas ASN kadang menjadi dilema khususnya bila untuk petahana yang ikut pilkada karena seolah-olah diwajibkan untuk mendukung petahana tapi bila tidak mendukung berisiko pada jabatan sehingga kami mendorong partisipasi masyarakat untuk memantau jalannya pilkada mulai dari praktik korupsi maupun netralitas ASN," ungkap Ghufron.

Baca juga: Polri nilai rawan tidaknya pilkada berdasarkan indeks kerawanan

Rekomendasi keenam adalah terkait dengan pelaksanaan pilkada serentak yang harus tetap memperhatikan aspek kesehatan.

"Pemberian suara dengan e-voting walau pasal 85 UU Pilkada sebenarnya sudah memungkinkan tapi belum diatur detail dalam undang-undang agar lebih efektif dan efisien serta kesiapan pelaksanaan melalui 'e-voting," ungkap Ghufron.

Rekomendasi ketujuh adalah adanya perlindungan terhadap penyelenggara, peserta dan pemilih dalam agar menjaga partisipasi masyarakat.

"Belajar dari Pileg dan Pilpres 2019 dimana banyak petugas KPS yang meninggal, jadi saat ini adalah bagaimana mendorong Pilkada 2020 terlindungi COVID-19 dengan memperlengkapi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) namun pengadaan APD ini juga harus diantisipasi dari praktik korupsi," kata Ghufron.

Ghufron menekankan KPK menyadari pilkada adalah instrumen utama untuk memilih pemimpin daerah sehingga bila proses pilkada berjalan baik maka harapannya akan terpilih pemimpin daerah yang berintegritas dan selanjutnya penyelenggaraan pemerintah di daerah juga bisa bebas korupsi.

Rekomendasi-rekomendasi KPK tersebut pun diberikan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukum) Mahfud MD yang juga ikut dalam konferensi pers virtual tersebut.

Baca juga: Pelaksanaan debat Pilkada Kepri 2020 menunggu Juknis KPU RI

"Pilkada berjalan dengan cara eksperimen yang tidak pernah selesai," kata Mahfud.

Tapi Mahfud menegaskan pemerintah menyatakan tidak akan kembali menunda pilkada serentak 2020 karena COVID-19.

"Karena tidak ada alasan yang cukup meyakinkan untuk penundaan tersebut, kalau alasannya pandemi, lalu apakah tidak ada pemerintahan kalau pandemi? Apakah semuanya sembunyi? Ada yang mengatakan menunggu sampai selesai pandemi, tapi tidak ada yang tahu kapan pandemi selesai," ungkap Mahfud.

Ia pun menilai bahwa pilkada tetap harus dilaksanakan dengan protokol kesehatan.

"Pilkada pada masa pandemi berarti menjaga protokol kesehatan, tetap mengusahakan demokrasi berkualitas dan tidak boleh ada korupsi," tambah Mahfud.

Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Semula, hari pemungutan suara Pilkada akan digelar pada 23 September namun akibat pandemi COVID-19, hari pencoblosan diundur hingga 9 Desember 2020.

Tahap pendaftaran pasangan bakal calon peserta pilkada 2020 sudah dilakukan pada 4-6 September 2020, selanjutnya KPUD akan melakukan verifikasi dan mengumumkan peserta pilkada pada 23 September.

Masa kampanye akan berlangsung pada 26 September sampai 5 Desember 2020 atau selama 71 hari.

Baca juga: KPU diingatkan IDI tahapan pilkada Mataram pedomani protokol COVID-19
Baca juga: Anggota KPU Surabaya beserta staf jalani swab test COVID-19