Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Asia Pasific Centre for Ecohydrology (APCE) – UNESCO Category II Centre, Ignasius Dwi Atmana Sutapa mengatakan pandemi COVID-19 menambah tantangan dalam pengelolaan banjir.

"Tantangan terbesar dari pandemi COVID-19 dalam situasi banjir terkait penerapan jarak fisik (physical distancing) yang akan lebih sulit dilakukan dan kekurangan air bersih pada situasi banjir," kata Ignasius dalam seminar virtual "Banjir di Masa COVID-19: Kesiapsiagaan, Mitigasi dan Pengelolaan Bencana”, di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Hadapi COVID-19, Indonesia dorong UNESCO prioritaskan pendidikan

Seminar itu diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan APCE – UNESCO Category II Centre dan bekerja sama dengan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta, dan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Bogor.

Ignasius menuturkan dampak COVID-19 dari sisi perekonomian masih belum selesai, akan diperparah dengan situasi banjir yang akan mengganggu jalannya kegiatan perekonomian masyarakat.

Untuk itu, kata Ignasius, upaya komprehensif harus dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun pemangku kepentingan yang lain dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kesiapsiagaan untuk antisipasi dan mitigasi terhadap bencana banjir di Indonesia di masa pandemi COVID-19.

Menurut Ignasius, beberapa faktor utama yang dapat menjadi penyebab terjadinya banjir adalah curah hujan yang tinggi akibat perubahan iklim, berkurangnya daerah tangkapan air, perubahan tata guna lahan, saluran air atau drainase tidak memadai serta perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan seperti membuang sampah sembarangan.

Baca juga: UNESCO: Virus corona mengancam sejumlah museum dunia

Baca juga: Demi pengakuan UNESCO, Candi Muara Jambi dikelola bersama komunitas


Berbagai kendala yang dihadapi untuk menangani permasalahan bencana banjir, di antaranya kebijakan desentralisasi, pengelolaan sumber daya yang tidak optimal serta tumpang tindih kewenangan antar-sektor dan tingkatan.

Ignasius menuturkan rendahnya koordinasi antara pihak-pihak terkait dalam upaya menangani permasalahan banjir juga menjadi penyebab sulitnya mengatasi masalah tersebut.

Peran lembaga penelitian atau riset dan inovasi menjadi sangat penting untuk memberikan rekomendasi dan solusi terhadap permasalahan kebencanaan banjir maupun pandemi COVID-19 di Indonesia.

Ignasius mengatakan perlu pendekatan tertentu, terukur dan komprehensif dalam mengatasi banjir dan kekurangan air di musim kemarau, termasuk untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, aksesibilitas dan kontinuitas dari sumber daya air serta meningkatkan kapasitas dan pengelolaan sumber daya air dan lingkungan.

Pelibatan seluruh pemangku kepentingan menjadi penting termasuk untuk penerapan konsep pengelolaan sumber daya air dan lingkungan hidup secara berkelanjutan, sehingga bisa meminimalkan risiko kebencanaan.

Baca juga: Kaldera Toba ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark