Peneliti perkirakan kemiskinan September 2020 naik jadi 10,34 persen
8 September 2020 16:52 WIB
Ilustrasi - Warga mencuci pakaian di pelataran kontrakannya di kawasan pemukiman padat penduduk, Petamburan, Jakarta, Selasa (19/7). Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2016 mencapai 28,01 juta orang dan angka ini sekitar 10,86 persen dari jumlah penduduk nasional. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/Spt.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Institute of Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah memperkirakan angka kemiskinan pada September 2020 naik menjadi 10,34 persen karena dampak pandemi COVID-19.
“Selama ini pemerintah berusaha menurunkan agar kemiskinan menjadi single digit tapi gara-gara COVID, kemiskinan akan kembali ke double digit,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase angka kemiskinan periode September 2019-Maret 2020 mencapai 9,78 persen atau sebesar 26,42 juta jiwa.
Rusli memperkirakan angka kemiskinan pada September 2020 naik 0,56 persen atau sama dengan pertambahan angka kemiskinan dari periode September 2019 hingga Maret 2020 yang mencapai 1,63 juta jiwa.
Baca juga: BPS perkirakan angka kemiskinan di Bogor melonjak tahun ini
Baca juga: Tekan laju angka kemiskinan, Kemenkeu pastikan optimalisasi belanja
“Angka kemiskinan ini juga sama dengan usaha penurunan kemiskinan selama 1,5 tahun yakni Maret 2018 hingga September 2019,” katanya.
Rusli mengatakan selama periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2014-2019, angka kemiskinan turun 1,74 persen atau 2,93 juta jiwa atau rata-rata per tahun turun 0,34 persen.
Mencermati dampak COVID-19 yang diperkirakan masih akan terasa tahun 2021, ia mengungkapkan target kemiskinan dari pemerintah sebesar 9,2 persen dinilai berat namun target 9,70 dinilai lebih realistis.
Sementara itu, terkait pengangguran dalam APBN 2020 ditargetkan berada pada rentang 4,88-5 persen.
Namun, dalam RAPBN 2021, pengangguran diperkirakan meningkat karena dampak COVID-19 mencapai 7,7-9,1 persen.
Dengan peningkatan itu, lanjut dia, menjadi yang tertinggi selama satu dekade terakhir karena pemerintah menyadari dampak COVID-19 sehingga sejumlah kebijakan dikeluarkan pemerintah.
Meski begitu, ia menyebut salah satu kebijakan yakni subsidi gaji lebih menyasar pekerja formal, padahal lebih tepat diberikan kepada pekerja informal.
Rusli menjelaskan jumlah pekerja formal saat ini mencapai 52 juta atau 43,5 persen dan informal mencapai 56,5 persen berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Kebijakan tepat sasaran untuk menyasar pekerja formal non BPJS dan pekerja informal,” katanya.*
Baca juga: Pengamat prediksi angka kemiskinan Sumut naik lagi hingga triwulan III
Baca juga: Peneliti: Penghapusan hambatan non tarif kurangi angka kemiskinan
“Selama ini pemerintah berusaha menurunkan agar kemiskinan menjadi single digit tapi gara-gara COVID, kemiskinan akan kembali ke double digit,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase angka kemiskinan periode September 2019-Maret 2020 mencapai 9,78 persen atau sebesar 26,42 juta jiwa.
Rusli memperkirakan angka kemiskinan pada September 2020 naik 0,56 persen atau sama dengan pertambahan angka kemiskinan dari periode September 2019 hingga Maret 2020 yang mencapai 1,63 juta jiwa.
Baca juga: BPS perkirakan angka kemiskinan di Bogor melonjak tahun ini
Baca juga: Tekan laju angka kemiskinan, Kemenkeu pastikan optimalisasi belanja
“Angka kemiskinan ini juga sama dengan usaha penurunan kemiskinan selama 1,5 tahun yakni Maret 2018 hingga September 2019,” katanya.
Rusli mengatakan selama periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2014-2019, angka kemiskinan turun 1,74 persen atau 2,93 juta jiwa atau rata-rata per tahun turun 0,34 persen.
Mencermati dampak COVID-19 yang diperkirakan masih akan terasa tahun 2021, ia mengungkapkan target kemiskinan dari pemerintah sebesar 9,2 persen dinilai berat namun target 9,70 dinilai lebih realistis.
Sementara itu, terkait pengangguran dalam APBN 2020 ditargetkan berada pada rentang 4,88-5 persen.
Namun, dalam RAPBN 2021, pengangguran diperkirakan meningkat karena dampak COVID-19 mencapai 7,7-9,1 persen.
Dengan peningkatan itu, lanjut dia, menjadi yang tertinggi selama satu dekade terakhir karena pemerintah menyadari dampak COVID-19 sehingga sejumlah kebijakan dikeluarkan pemerintah.
Meski begitu, ia menyebut salah satu kebijakan yakni subsidi gaji lebih menyasar pekerja formal, padahal lebih tepat diberikan kepada pekerja informal.
Rusli menjelaskan jumlah pekerja formal saat ini mencapai 52 juta atau 43,5 persen dan informal mencapai 56,5 persen berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Kebijakan tepat sasaran untuk menyasar pekerja formal non BPJS dan pekerja informal,” katanya.*
Baca juga: Pengamat prediksi angka kemiskinan Sumut naik lagi hingga triwulan III
Baca juga: Peneliti: Penghapusan hambatan non tarif kurangi angka kemiskinan
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020
Tags: