Menristek: Indonesia bertekad salip Vietnam dalam produksi kopi
5 September 2020 21:11 WIB
Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro dalam webinar yang digelar oleh Pusat Kajian Gastrodiplomasi Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) Unej, Sabtu (5/9/2020). ANTARA/ HO - Humas Unej
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia bertekad meningkatkan produktivitas kopinya hingga merebut kembali posisi sebagai produsen kopi nomor nomor dua di dunia yang kini ditempati Vietnam.
"Peningkatan produksi kopi menjadi salah satu program ekonomi nasional mengingat 96 persen produk kopi Indonesia disumbang oleh perkebunan kopi rakyat," katanya saat menjadi pembicara utama dalam webinar bertema Indonesia Dalam Peta Kopi Dunia: Peluang dan Prospek, yang digelar oleh Pusat Kajian Gastrodiplomasi Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) Universitas Jember, Jawa Timur, Sabtu sore.
Menurutnya, jika produktivitas kopi naik maka dampak positifnya akan dirasakan oleh masyarakat, dari petani hingga pelaku usaha di bidang kopi karena saat ini rata-rata produksi kopi per tahun Indonesia mencapai 600 ribu ton dari 1,3 juta hektare lahan perkebunan kopi.
"Dari jumlah tersebut, 45 persen diserap pasar dalam negeri, dan sisanya diekspor," kata mantan Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Ketua Bappenas itu.
Ia mengatakan jumlah luasan kebun kopi Indonesia lebih luas dibandingkan Vietnam, namun Vietnam lebih maksimal mengembangkan kopi hingga menyalip Indonesia dan petani Indonesia masih menghadapi kendala pada lahan petani yang terbatas, dan masih menjadi tanaman sampingan saja.
"Masalah berikutnya adalah pada tahapan pascapanen, sehingga Kemenristek/BRIN melalui LIPI telah mengembangkan berbagai teknologi tepat guna untuk petani kopi," tuturnya.
Ia menjelaskan salah satu program bantuan teknologi tepat guna yang dimotori oleh LIPI dilakukan di Kabupaten Sumba Barat Daya dan program itu berhasil melahirkan produk kopi yang dinamakan Aroma Kopi Sumba yang berhasil menyabet gelar juara kopi nasional di tahun 2017 dan 2018 lalu.
"Saya berharap agar perguruan tinggi seperti Universitas Jember ikut berperan dengan membentuk konsorsium multidisiplin dalam meneliti kopi yang melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin keilmuan, agar pengembangan kopi Indonesia makin maju," katanya.
Sementara Ketua Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Irfan Anwar mengatakan peningkatan produktivitas kopi perlu menjadi perhatian pemerintah karena luasan kebun kopi Indonesia masih lebih besar daripada Vietnam.
Jika Indonesia memiliki luasan 1,3 juta hektare maka Vietnam hanya punya 650 ribu hektar, namun produktivitas kebun kopi Vietnam masih lebih unggul karena bisa menghasilkan 2,3 ton kopi per hektare, sedangkan di Indonesia maksimal hanya 700 kilogram saja.
"Tak heran jika Vietnam melesat menjadi penghasil kopi nomor dua di dunia dan produsen nomor satu dunia masih diduduki oleh Brazil, nomor tiga Kolombia dan Indonesia di nomor empat," tuturnya.
Ia mengatakan tantangan menaikkan produktivitas kebun kopi Indonesia juga menghadapi kendala saat ini, yakni merebaknya pandemi COVID-19 sehingga ekspor kopi tersendat yang berdampak pada banyak hotel tutup, kafe tutup yang membuat harga kopi dunia turun hingga 30 persen.
Namun, harga kopi speciality yang menjadi salah satu unggulan Indonesia masih bertahan. Jika peningkatan produksi kopi bisa diwujudkan maka 2 juta petani Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada usaha perkebunan kopi akan lebih sejahtera, termasuk para pelaku usaha kopi dari hulu hingga hilir.
Rektor Universitas Jember Iwan Taruna mendukung berlangsungnya webinar tersebut karena kopi sudah menjadi salah satu kekuatan ekonomi Indonesia dan sekaligus berpotensi sebagai pilar diplomasi Indonesia.
"Saya apresiasi untuk Pusat Kajian Gastrodiplomasi Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) Universitas Jember yang konsisten menggelar webinar dalam kerangka gastrodiplomasi," katanya.
Baca juga: Meski pandemi, Menkop catat ekspor kopi Indonesia masih tumbuh
Baca juga: Menkop: RI bisa impor kopi jika tidak disertai kenaikan produksi
Baca juga: Kemendag dorong ekspor kopi Indonesia ke Meksiko
"Peningkatan produksi kopi menjadi salah satu program ekonomi nasional mengingat 96 persen produk kopi Indonesia disumbang oleh perkebunan kopi rakyat," katanya saat menjadi pembicara utama dalam webinar bertema Indonesia Dalam Peta Kopi Dunia: Peluang dan Prospek, yang digelar oleh Pusat Kajian Gastrodiplomasi Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) Universitas Jember, Jawa Timur, Sabtu sore.
Menurutnya, jika produktivitas kopi naik maka dampak positifnya akan dirasakan oleh masyarakat, dari petani hingga pelaku usaha di bidang kopi karena saat ini rata-rata produksi kopi per tahun Indonesia mencapai 600 ribu ton dari 1,3 juta hektare lahan perkebunan kopi.
"Dari jumlah tersebut, 45 persen diserap pasar dalam negeri, dan sisanya diekspor," kata mantan Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Ketua Bappenas itu.
Ia mengatakan jumlah luasan kebun kopi Indonesia lebih luas dibandingkan Vietnam, namun Vietnam lebih maksimal mengembangkan kopi hingga menyalip Indonesia dan petani Indonesia masih menghadapi kendala pada lahan petani yang terbatas, dan masih menjadi tanaman sampingan saja.
"Masalah berikutnya adalah pada tahapan pascapanen, sehingga Kemenristek/BRIN melalui LIPI telah mengembangkan berbagai teknologi tepat guna untuk petani kopi," tuturnya.
Ia menjelaskan salah satu program bantuan teknologi tepat guna yang dimotori oleh LIPI dilakukan di Kabupaten Sumba Barat Daya dan program itu berhasil melahirkan produk kopi yang dinamakan Aroma Kopi Sumba yang berhasil menyabet gelar juara kopi nasional di tahun 2017 dan 2018 lalu.
"Saya berharap agar perguruan tinggi seperti Universitas Jember ikut berperan dengan membentuk konsorsium multidisiplin dalam meneliti kopi yang melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin keilmuan, agar pengembangan kopi Indonesia makin maju," katanya.
Sementara Ketua Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Irfan Anwar mengatakan peningkatan produktivitas kopi perlu menjadi perhatian pemerintah karena luasan kebun kopi Indonesia masih lebih besar daripada Vietnam.
Jika Indonesia memiliki luasan 1,3 juta hektare maka Vietnam hanya punya 650 ribu hektar, namun produktivitas kebun kopi Vietnam masih lebih unggul karena bisa menghasilkan 2,3 ton kopi per hektare, sedangkan di Indonesia maksimal hanya 700 kilogram saja.
"Tak heran jika Vietnam melesat menjadi penghasil kopi nomor dua di dunia dan produsen nomor satu dunia masih diduduki oleh Brazil, nomor tiga Kolombia dan Indonesia di nomor empat," tuturnya.
Ia mengatakan tantangan menaikkan produktivitas kebun kopi Indonesia juga menghadapi kendala saat ini, yakni merebaknya pandemi COVID-19 sehingga ekspor kopi tersendat yang berdampak pada banyak hotel tutup, kafe tutup yang membuat harga kopi dunia turun hingga 30 persen.
Namun, harga kopi speciality yang menjadi salah satu unggulan Indonesia masih bertahan. Jika peningkatan produksi kopi bisa diwujudkan maka 2 juta petani Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada usaha perkebunan kopi akan lebih sejahtera, termasuk para pelaku usaha kopi dari hulu hingga hilir.
Rektor Universitas Jember Iwan Taruna mendukung berlangsungnya webinar tersebut karena kopi sudah menjadi salah satu kekuatan ekonomi Indonesia dan sekaligus berpotensi sebagai pilar diplomasi Indonesia.
"Saya apresiasi untuk Pusat Kajian Gastrodiplomasi Center for Research in Social Sciences and Humanities (C-RiSSH) Universitas Jember yang konsisten menggelar webinar dalam kerangka gastrodiplomasi," katanya.
Baca juga: Meski pandemi, Menkop catat ekspor kopi Indonesia masih tumbuh
Baca juga: Menkop: RI bisa impor kopi jika tidak disertai kenaikan produksi
Baca juga: Kemendag dorong ekspor kopi Indonesia ke Meksiko
Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: