Jakarta (ANTARA News) - Direktur Utama PT PLN (Persero), Dahlan Iskan, mengungkapkan bahwa nasibnya kini tergantung pula terhadap trafo yang dimiliki perusahaanya, paling tidak jangan sampai ada yang meledak ataupun mati mendadak karena sebab teknis lainnya.

"Kalau sampai ada trafo yang mati, maka mampuslas saya," katanya sambil tertawa, saat bincang-bincang dalam acara makan malam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, di Jakarta, Jumat.

Ia menjelaskan, proses penggantian trafo yang rusak dapat mencapai waktu delapan bulan, dan harganya relatif mahal. "Teknis dan biaya perjalanan trafo listrik saja sudah mahal, apalagi harga satuannya bisa sama dengan sejumlah perusahaan surat kabar," kata mantan pemilik kelompok bisnis media massa Jawa Pos tersebut.

Oleh karena itu, ia mengemukakan, telah menghubungi sejumlah pengusaha asing yang memiliki pasokan trafo, termasuk dari China. "Kalau menghadapi pengusaha China saya bisa komplain semaunya, karena saya gunakan bahasa mereka juga, bahasa Mandarin," ujar pebisnis yang memang mahir berbahasa China itu, disambut sejumlah pengusaha nasional dan masyarakat pers yang hadir.

Bahkan, Dahlan menyatakan, sekira sebulan terakhir ini menjadi orang pertama di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tetap bertahan menggunakan kostum santai dan sederhana, serta bersepatu olahraga. "Biar tetap enak berpikir dalam bekerja. Toh yang penting bukan urusan berpakaian, tapi bagaimana urusan pekerjaan cepat beres," katanya.

Ia pun mengatakan, akan berupaya menjadikan Jakarta sebagai kota kelas satu dalam pelayanan listrik, antara lain ditandai dengan hanya padam 1,5 kali setahun dan paling lama selama tujuh menit. "Kalau Singapura saja bisa, kenapa Jakarta tidak?," ujarnya.

Dahlan menjelaskan, mulai Februari 2010 menyiapkan membangun lima lokasi pembangkit listrik kapasitas kecil di Jakarta, antara lain di kawasan Bintaro, Bulungan dan Menteng. "Paling tidak, saya berharap dan PLN Jakarta harus mampu laksanakan pada Oktober nanti Jakarta bisa mulai jadi 'world class' dari sisi pelayanan penyediaan listrik," ungkapnya.

PLN pun, menurut dia, berupaya keras menyelesaikan pemadaman listrik secara bergiliran di Pulau Jawa secepat-cepatnya. Namun, ia menimpali, kalau di luar Jawa baru terselesaikan urusan pemadaman listrik secara bergiliran pada 2012.

Menanggapi perannya di Jawa Pos Grup, Dahlan menyatakan, telah menandatangani pernyataan meninggalkan semua bisnisnya karena ingin fokus ke PT PLN. "Malah saya lupa Jawa Pos. Saya juga makin jarang nonton televisi dan baca koran, malah sempat tidak tahu kalau Haiti dilanda gempa. Ini kebiasaan saya, kalau sudah fokus kerja bisa lupa yang lainnya," kata pria kelahiran Magetan (Jawa Timur) pada 17 Agustus 1951.

Membandingkan pekerjaannya selaku pengelola dan pemilik jejaring media massa dengan pimpinan di PT PLN, Dahlan pun berkomentar, "Saya terbiasa menikmati pekerjaan. Hanya saja sekarang saya bisa pulang lebih cepat, jam sembilan atau sepuluh malam."

Ia menimpali, "Kalau di Jawa Pos saya paling cepat pulang jam tiga pagi tunggu selesai naik cetak, dan jam delapan sudah harus kerja lagi. Irama kerja di koran inilah yang pernah menghancurkan kesehatan saya."

Kepada insan pers, Dahlan pun berharap bakal bersedia menjadi tempat curahan hatinya. "Saya sebentar lagi bakal dapat tekanan sangat berat karena adakan tender senilai lebih dari dua kali uang yang mengucur ke Bank Century, yakni sekitar Rp15 triliun. Ini bakal merepotkan, dan saya nanti hanya bisa curhat ke pers karena saya tidak punya partai." (*)