Sarwono yakini kebijakan makro energi segera beralih ke rendah emisi
2 September 2020 19:57 WIB
Ketua Dewan Pengarah Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sarwono Kusumaatmadja dalam diskusi Pojok Iklim membahas Tantangan Pengendalian Kualitas Udara Ambien pada Tatanan Baru Beradaptasi dengan COVID-19 diadakan di Jakarta, Rabu (2/9/2020). (ANTARA/Virna P Setyorini)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Dewan Pengarah Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sarwono Kusumaatmadja meyakini kebijakan makro energi Indonesia bakal segera beralih ke rendah emisi mengikuti tren global.
"Jika Jakarta dan sekitarnya selama ini sulit sekali menurunkan polusi ternyata celah itu ada saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dijalankan di masa pandemi COVID-19. Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango terlihat jelas dari Jakarta, meski setelah itu sulit lagi pemandangan itu dinikmati karena polusi kembali lagi," kata Sarwono .
Ia menjadi pembicara dalam diskusi Pojok Iklim membahas Tantangan Pengendalian Kualitas Udara Ambien pada Tatanan Baru Beradaptasi dengan COVID-19 diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Sarwono: Pemuda akan hadapi kondisi menantang akibat perubahan iklim
“Kesulitan kita menangani pencemaran udara itu bukan karena siapa-siapa. Hanya karena kebijakan makro energi yang tidak mendukung,” katanya.
Tapi ke depan, menurut dia, situasinya semakin cerah karena mau tidak mau kebijakan besar energi di Indonesia bakal berubah karena tren global juga berubah menggunakan energi bersih rendah emisi.
Sarwono juga mengatakan kehadiran mobil atau kendaraan listrik tidak bisa dihindarkan karena komponen yang sangat krusial dari teknologi itu sudah ditemukan, yakni baterai.
Baca juga: Dirjen PPI KLHK: Pemuda tumpuan harapan lingkungan hidup Indonesia
Baca juga: Dana-dana pengendalian perubahan iklim Indonesia
“Kita kebetulan produsen bahan baku baterai terbesar di dunia yakni nikel. Dan kita komitmen memproduksi sendiri,” ujar mantan Menteri Lingkungan Hidup era Orde Baru tersebut.
Selain itu ia mengatakan dunia sedang bergerak beralih menggunakan energi baru terbarukan (EBT) yang tidak lain energi bersih. Terjadi pergantian penggunaan energi fosil ke bersih, ini gejala masa depan yang sulit dicegah.
Maka, menurut dia, sumber pencemar udara yang bergerak maupun yang tidak bergerak akan semakin besar dapat dikurangi.
Baca juga: Deforestasi turun, Indonesia terima 103,8 dolar juta dari GCF
"Jika Jakarta dan sekitarnya selama ini sulit sekali menurunkan polusi ternyata celah itu ada saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dijalankan di masa pandemi COVID-19. Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango terlihat jelas dari Jakarta, meski setelah itu sulit lagi pemandangan itu dinikmati karena polusi kembali lagi," kata Sarwono .
Ia menjadi pembicara dalam diskusi Pojok Iklim membahas Tantangan Pengendalian Kualitas Udara Ambien pada Tatanan Baru Beradaptasi dengan COVID-19 diadakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Sarwono: Pemuda akan hadapi kondisi menantang akibat perubahan iklim
“Kesulitan kita menangani pencemaran udara itu bukan karena siapa-siapa. Hanya karena kebijakan makro energi yang tidak mendukung,” katanya.
Tapi ke depan, menurut dia, situasinya semakin cerah karena mau tidak mau kebijakan besar energi di Indonesia bakal berubah karena tren global juga berubah menggunakan energi bersih rendah emisi.
Sarwono juga mengatakan kehadiran mobil atau kendaraan listrik tidak bisa dihindarkan karena komponen yang sangat krusial dari teknologi itu sudah ditemukan, yakni baterai.
Baca juga: Dirjen PPI KLHK: Pemuda tumpuan harapan lingkungan hidup Indonesia
Baca juga: Dana-dana pengendalian perubahan iklim Indonesia
“Kita kebetulan produsen bahan baku baterai terbesar di dunia yakni nikel. Dan kita komitmen memproduksi sendiri,” ujar mantan Menteri Lingkungan Hidup era Orde Baru tersebut.
Selain itu ia mengatakan dunia sedang bergerak beralih menggunakan energi baru terbarukan (EBT) yang tidak lain energi bersih. Terjadi pergantian penggunaan energi fosil ke bersih, ini gejala masa depan yang sulit dicegah.
Maka, menurut dia, sumber pencemar udara yang bergerak maupun yang tidak bergerak akan semakin besar dapat dikurangi.
Baca juga: Deforestasi turun, Indonesia terima 103,8 dolar juta dari GCF
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020
Tags: