Peneliti: Virus SARS-CoV-2 lebih infeksius baru sebatas pengujian lab
1 September 2020 18:50 WIB
Bio Farma segera memproduksi alat pendeteksi Covid-19, berupa Rapid Test berbasis Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), yang dapat melakukan pemeriksaan SARS CoV2 (virus corona) atau COVID-19. ANTARA/HO-Humas Bio Farma/am.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anggia Prasetyoputri mengatakan strain virus SARS-CoV-2 dengan mutasi D614G dinilai 10 kali lebih infeksius atau mudah menular baru sebatas hasil dari pengujian di laboratorium.
"Kalau dari hasil penelitian di kultur sel di laboratorium, iya, tapi belum bisa dibuktikan di manusia apakah memang 10 kali lebih mudah menular," kata Anggia yang merupakan peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI kepada ANTARA, Jakarta, Selasa.
Virus yang mengandung mutasi itu dan yang menyebabkan COVID-19 itu sudah ditemukan sejak Februari 2020 di Eropa, dan juga sudah ditemukan di Amerika, Brazil, Singapura, Malaysia dan juga Indonesia.
Baca juga: Peneliti: Belum terbukti klinis SARS-CoV2 lebih infeksius pada manusia
Baca juga: Presiden Brazil: Warga tak akan dipaksa disuntik vaksin corona
Anggia menuturkan apabila diasumsikan virus menjadi lebih infeksius dengan adanya mutasi D614G tersebut, maka penyebarannya bisa menjadi lebih cepat dan bisa menular ke lebih banyak orang dibanding yang tidak ada mutasi tersebut.
Mutasi adalah salah satu cara virus bertahan hidup. Mutasi awalnya terjadi karena kesalahan proses replikasi materi genetik virus, namun apabila mutasi tersebut menguntungkan, bisa jadi mutasi tersebut akan "dipertahankan" oleh virus. Misalnya, apabila dengan mutasi tertentu maka virus akan lebih mudah menular.
Anggia mengatakan ada beragam kemungkinan hasil mutasi terhadap karakteristik virus tersebut. Virus bisa menjadi lebih mudah menular, menjadi lebih berbahaya, atau sebaliknya melemah.
"Jadi efeknya ke manusia bisa berbeda dari strain yang sebelumnya dan saat ini pengetahuan kita masih minim terhadap efek mutasi D614G pada populasi manusia," ujar Anggia.*
Baca juga: Chile setujui obat COVID-19 buatan Rusia
Baca juga: Kematian COVID-19 di negara bagian Victoria turun
"Kalau dari hasil penelitian di kultur sel di laboratorium, iya, tapi belum bisa dibuktikan di manusia apakah memang 10 kali lebih mudah menular," kata Anggia yang merupakan peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI kepada ANTARA, Jakarta, Selasa.
Virus yang mengandung mutasi itu dan yang menyebabkan COVID-19 itu sudah ditemukan sejak Februari 2020 di Eropa, dan juga sudah ditemukan di Amerika, Brazil, Singapura, Malaysia dan juga Indonesia.
Baca juga: Peneliti: Belum terbukti klinis SARS-CoV2 lebih infeksius pada manusia
Baca juga: Presiden Brazil: Warga tak akan dipaksa disuntik vaksin corona
Anggia menuturkan apabila diasumsikan virus menjadi lebih infeksius dengan adanya mutasi D614G tersebut, maka penyebarannya bisa menjadi lebih cepat dan bisa menular ke lebih banyak orang dibanding yang tidak ada mutasi tersebut.
Mutasi adalah salah satu cara virus bertahan hidup. Mutasi awalnya terjadi karena kesalahan proses replikasi materi genetik virus, namun apabila mutasi tersebut menguntungkan, bisa jadi mutasi tersebut akan "dipertahankan" oleh virus. Misalnya, apabila dengan mutasi tertentu maka virus akan lebih mudah menular.
Anggia mengatakan ada beragam kemungkinan hasil mutasi terhadap karakteristik virus tersebut. Virus bisa menjadi lebih mudah menular, menjadi lebih berbahaya, atau sebaliknya melemah.
"Jadi efeknya ke manusia bisa berbeda dari strain yang sebelumnya dan saat ini pengetahuan kita masih minim terhadap efek mutasi D614G pada populasi manusia," ujar Anggia.*
Baca juga: Chile setujui obat COVID-19 buatan Rusia
Baca juga: Kematian COVID-19 di negara bagian Victoria turun
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020
Tags: