Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan tren pelemahan daya beli masyarakat sedang terjadi setelah terjadinya deflasi selama dua bulan berturut-turut.

"Sekarang ini trennya hampir sama, terjadi pelemahan daya beli. Semua mengalami perlambatan dan deflasi," kata Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.

Ia memastikan penyebab utamanya adalah pandemi COVID-19 yang telah menekan pendapatan masyarakat dan mengurangi permintaan atas barang konsumsi.

Lesunya daya beli itu juga tercermin dari inflasi inti dari tahun ke tahun (yoy) yang saat ini tercatat 2,03 persen atau lebih rendah dari rata-rata sebelumnya.

"Kalau dari harga barang bergejolak yang deflasi, supply itu mencukupi. Tapi dari pergerakan inflasi inti hanya 2,03 persen, ini menunjukkan daya beli masyarakat belum pulih," katanya.

Sebelumnya, BPS mencatat terjadinya deflasi pada Juli-Agustus 2020 atau dua bulan berturut-turut masing-masing sebesar 0,10 persen dan 0,05 persen karena turunnya harga kebutuhan pangan dan tarif angkutan udara.

Tren penurunan inflasi ini mulai terlihat sejak pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia pada Maret dan telah mempengaruhi kinerja perekonomian.

Pelambatan itu bahkan mempengaruhi inflasi pada periode Lebaran yang melandai pada April-Mei 2020 masing-masing hanya sebesar 0,08 persen dan 0,07 persen.

Padahal, biasanya pada periode Lebaran terjadi inflasi tinggi karena adanya kenaikan harga bahan makanan maupun tarif transportasi seiring dengan tingginya permintaan.

Dengan terjadinya deflasi, maka inflasi tahun kalender Januari-Agustus 2020 mencapai 0,93 persen dan inflasi tahun ke tahun (yoy) sebesar 1,32 persen.

Baca juga: BPS catat terjadi deflasi 0,05 persen pada Agustus 2020
Baca juga: BPS: Penurunan harga pangan dan tarif angkutan picu deflasi Agustus