Asap kebakaran hutan dan lahan naikkan risiko pasien COVID-19
29 Agustus 2020 20:32 WIB
Ilustrasi - Petugas BPBD Batanghari lakukan pemadaman kebakaran hutan dan lahan. BPBD Batanghari imbau perusahaan batu bara inspeksi jalur angkutan batu bara untuk menghindari kebakaran hutan dan lahan akibat percikan dari tumpahan batu bara. (Antara/HO/BPBD Batanghari)
Jakarta (ANTARA) - Ahli epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) meningkatkan indeks nitrogen dioksida (NO2) yang lebih berbahaya bagi pasien COVID-19 yang mengidap tuberkulosis.
Pandu dalam diskusi Editor Meeting The Society for Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) yang membahas Ancaman Karhutla di Masa Pandemi COVID-19 di Jakarta, Sabtu, mengatakan karhutla berdampak pada kesehatan masyarakat, menyebabkan peningkatan kejadian penyakit paru atau tuberkulosis.
Efek jangka pendek dari eksposur polusi udara akibat karhutla seperti di Pekanbaru, Riau, menurut dia, meningkatkan risiko tuberkulosis. Hal itu karena peningkatan indeks NO2 yang lebih berisiko dari partikel berukuran lebih kecil dari 10 mikron (PM10) dan Sulfur dioksida (SO2).
Maka masyarakat di daerah yang rawan terjadi karhutla di masa pandemi COVID-19, ia mengatakan bisa jauh lebih banyak mengalami gangguan fungsi paru dan bisa menaikkan angka kematian.
Baca juga: Upaya pencegahan karhutla di masa pandemi COVID-19
Baca juga: Pakar: Cegah karhutla bantu hindari krisis ganda asap dan COVID-19
Pandu mengatakan pandemi yang sedang berlangsung kemungkinan tidak hanya terjadi sekarang tetapi bisa sampai 2022, artinya risiko terinfeksi dan kemungkinan peningkatan mortalitas masih banyak, terlebih jika ditambah karhutla.
"Jadi harus dicegah. Karhutla tidak boleh terjadi dan penularan juga harus ditiadakan," ujar dia.
Pandu mengatakan masyarakat tidak akan bisa kembali ke situasi Indonesia seperti sebelum pandemi. "Kita akan menuju Indonesia yang berbeda".
Hidup di masa pandemi menjadi lebih berisiko, namun sayangnya kampanye penggunaan masker, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak minimal satu meter (3M) tidak kuat, kata dia. Padahal obat bukan solusi bagi mereka yang sehat, karena obat diperuntukkan bagi yang sakit.
Karenanya ia lebih menyarankan masyarakat yang harus sadar untuk selalu menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak minimal satu meter dengan orang lain. Penggunaan masker menjadi cara paling murah namun efektif menurunkan risiko penularan COVID-19 di masyarakat.*
Baca juga: Dokter paru perkirakan COVID-19 tidak menempel pada partikel asap
Baca juga: Dokter paru: Potensi asap karhutla mempermudah risiko terkena COVID-19
Pandu dalam diskusi Editor Meeting The Society for Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) yang membahas Ancaman Karhutla di Masa Pandemi COVID-19 di Jakarta, Sabtu, mengatakan karhutla berdampak pada kesehatan masyarakat, menyebabkan peningkatan kejadian penyakit paru atau tuberkulosis.
Efek jangka pendek dari eksposur polusi udara akibat karhutla seperti di Pekanbaru, Riau, menurut dia, meningkatkan risiko tuberkulosis. Hal itu karena peningkatan indeks NO2 yang lebih berisiko dari partikel berukuran lebih kecil dari 10 mikron (PM10) dan Sulfur dioksida (SO2).
Maka masyarakat di daerah yang rawan terjadi karhutla di masa pandemi COVID-19, ia mengatakan bisa jauh lebih banyak mengalami gangguan fungsi paru dan bisa menaikkan angka kematian.
Baca juga: Upaya pencegahan karhutla di masa pandemi COVID-19
Baca juga: Pakar: Cegah karhutla bantu hindari krisis ganda asap dan COVID-19
Pandu mengatakan pandemi yang sedang berlangsung kemungkinan tidak hanya terjadi sekarang tetapi bisa sampai 2022, artinya risiko terinfeksi dan kemungkinan peningkatan mortalitas masih banyak, terlebih jika ditambah karhutla.
"Jadi harus dicegah. Karhutla tidak boleh terjadi dan penularan juga harus ditiadakan," ujar dia.
Pandu mengatakan masyarakat tidak akan bisa kembali ke situasi Indonesia seperti sebelum pandemi. "Kita akan menuju Indonesia yang berbeda".
Hidup di masa pandemi menjadi lebih berisiko, namun sayangnya kampanye penggunaan masker, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak minimal satu meter (3M) tidak kuat, kata dia. Padahal obat bukan solusi bagi mereka yang sehat, karena obat diperuntukkan bagi yang sakit.
Karenanya ia lebih menyarankan masyarakat yang harus sadar untuk selalu menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak minimal satu meter dengan orang lain. Penggunaan masker menjadi cara paling murah namun efektif menurunkan risiko penularan COVID-19 di masyarakat.*
Baca juga: Dokter paru perkirakan COVID-19 tidak menempel pada partikel asap
Baca juga: Dokter paru: Potensi asap karhutla mempermudah risiko terkena COVID-19
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020
Tags: