Sri Mulyani: Kecepatan penting, tapi harus tetap akuntabel
27 Agustus 2020 11:54 WIB
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR dengan agenda pembahasan Laporan Keuangan Kementerian Keuangan pada APBN 2019 di Ruang Rapat Komisi XI DPR pada Rabu (26/8/2020). ANTARA/HO-Kemenkeu/pri.
Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan dunia membutuhkan lebih dari 8 triliun dolar AS untuk menangani dan mengatasi dampak COVID-19 dari sisi kesehatan, sosial, serta ekonomi.
“Dalam hitungan International Monetary Fund (IMF) lebih dari 8 triliun dolar AS adalah sumber daya yang digunakan untuk menangani dan mengatasi COVID-19,” kata Sri Mulyani dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Jumlah tersebut merupakan delapan kali Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan sekitar 10 persen dari PDB global.
"Kita memahami dalam situasi yang luar biasa, emergency, dan urgensi maka kecepatan menjadi sangat penting namun harus tetap akuntabel," ujar Sri Mulyani.
Baca juga: Luhut: Nasib RI lebih baik dibanding negara pendapatan menengah lain
Ia menuturkan seluruh negara di dunia terus berusaha mencari titik keseimbangan dalam mengatasi COVID-19 yaitu antara pemulihan di bidang kesehatan maupun ekonomi masyarakat.
Hal itu mengingat jumlah kasus COVID-19 yang terus bertambah hingga 23,6 juta orang dengan kematian mencapai lebih dari 814.000 orang dan belum terdapat tanda-tanda akan selesai.
Sementara jumlah kasus di Indonesia hingga 26 Agustus 2020 telah mencapai 160.165 orang dengan 6.944 orang meninggal dan 37.812 orang masih dirawat.
Baca juga: Sebaran kasus COVID-19 di dunia, Indonesia urutan ke-23
Menurut Sri Mulyani, pandemi COVID-19 merupakan bencana kemanusiaan yang mempengaruhi seluruh faktor paling dalam di kehidupan masyarakat mulai dari interaksi secara sosial, politik, kultural, serta ekonomi.
“Jutaan pekerja kehilangan pendapatan atau pekerjaannya dan banyak perusahaan mengalami kebangkrutan. Seluruh dunia melakukan kebijakan countercyclical,” ujar Sri Mulyani.
Ia menyebutkan semua ekonomi negara mengalami tekanan dan banyak yang terkontraksi mencapai dua digit sehingga mereka terus melakukan kebijakan countercyclical.
“Indonesia juga mengalami kontraksi ekonomi pada kuartal kedua 2020 yaitu minus 5,3 persen,” ujar Sri Mulyani.
Baca juga: Sri Mulyani paparkan realisasi anggaran Program Pemulihan Ekonomi
Sri Mulyani mengatakan kontraksi yang dialami oleh Indonesia terjadi karena konsumsi masyarakat, investasi, serta kegiatan ekspor dan impor menurun sangat tajam.
Oleh sebab itu Sri Mulyani mengatakan pemerintah Indonesia membuat langkah-langkah seperti mengeluarkan UU 2/2020, menaikkan batas defisit menjadi 6,34 persen, dan merevisi anggaran melalui Perpres 72/2020.
Tak hanya itu, pemerintah juga membuat Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencakup bidang kesehatan, pemberian bansos, membantu UMKM, mendukung korporasi dan sektoral maupun perekonomian daerah.
Baca juga: Kadin: Proses penyerapan anggaran perlu dipercepat
“Dalam hitungan International Monetary Fund (IMF) lebih dari 8 triliun dolar AS adalah sumber daya yang digunakan untuk menangani dan mengatasi COVID-19,” kata Sri Mulyani dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Jumlah tersebut merupakan delapan kali Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan sekitar 10 persen dari PDB global.
"Kita memahami dalam situasi yang luar biasa, emergency, dan urgensi maka kecepatan menjadi sangat penting namun harus tetap akuntabel," ujar Sri Mulyani.
Baca juga: Luhut: Nasib RI lebih baik dibanding negara pendapatan menengah lain
Ia menuturkan seluruh negara di dunia terus berusaha mencari titik keseimbangan dalam mengatasi COVID-19 yaitu antara pemulihan di bidang kesehatan maupun ekonomi masyarakat.
Hal itu mengingat jumlah kasus COVID-19 yang terus bertambah hingga 23,6 juta orang dengan kematian mencapai lebih dari 814.000 orang dan belum terdapat tanda-tanda akan selesai.
Sementara jumlah kasus di Indonesia hingga 26 Agustus 2020 telah mencapai 160.165 orang dengan 6.944 orang meninggal dan 37.812 orang masih dirawat.
Baca juga: Sebaran kasus COVID-19 di dunia, Indonesia urutan ke-23
Menurut Sri Mulyani, pandemi COVID-19 merupakan bencana kemanusiaan yang mempengaruhi seluruh faktor paling dalam di kehidupan masyarakat mulai dari interaksi secara sosial, politik, kultural, serta ekonomi.
“Jutaan pekerja kehilangan pendapatan atau pekerjaannya dan banyak perusahaan mengalami kebangkrutan. Seluruh dunia melakukan kebijakan countercyclical,” ujar Sri Mulyani.
Ia menyebutkan semua ekonomi negara mengalami tekanan dan banyak yang terkontraksi mencapai dua digit sehingga mereka terus melakukan kebijakan countercyclical.
“Indonesia juga mengalami kontraksi ekonomi pada kuartal kedua 2020 yaitu minus 5,3 persen,” ujar Sri Mulyani.
Baca juga: Sri Mulyani paparkan realisasi anggaran Program Pemulihan Ekonomi
Sri Mulyani mengatakan kontraksi yang dialami oleh Indonesia terjadi karena konsumsi masyarakat, investasi, serta kegiatan ekspor dan impor menurun sangat tajam.
Oleh sebab itu Sri Mulyani mengatakan pemerintah Indonesia membuat langkah-langkah seperti mengeluarkan UU 2/2020, menaikkan batas defisit menjadi 6,34 persen, dan merevisi anggaran melalui Perpres 72/2020.
Tak hanya itu, pemerintah juga membuat Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencakup bidang kesehatan, pemberian bansos, membantu UMKM, mendukung korporasi dan sektoral maupun perekonomian daerah.
Baca juga: Kadin: Proses penyerapan anggaran perlu dipercepat
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020
Tags: