Jakarta (ANTARA) - Ada pandangan di kehidupan sosial pada masyarakat bahwa seorang dengan usia lanjut punya, bahkan identik dengan kondisi mengalami kelupaan dalam kesehariannya.

Bahasa umumnya, masyarakat mengenal dengan istilah pikun atau kepikunan, sedangkan dalam bahasa kesehatan istilah itu dikenal dengan demensia atau Alzheimer's Disease (AD).

"AD ini adalah penyakit neurodegeneratif yang sangat progresif pada korteks dan hipocampus otak," kata ahli penyakit saraf (neurolog) Indonesia, dr Andreas Harry, SpS (K), pada seminar melalui aplikasi berbasis internet (webinar) di Jakarta, Senin (24/8) malam.

Penyakit AD itu, bukan hanya menyerang di bagian otak, namun juga usus, pankreas, dan mukosa hidung

Dalam webinar bertema "The New Concept: Mengenal Demensia Alzheimer" yang digagas Lundbeck, jejaring farmasi multinasional yang fokus pada psikiatri dan neurologi, yang berkantor pusat di Kopenhagen, Denmark, yang diikuti praktisi kesehatan dan masyarakat umum itu, ia menjelaskan bahwa AD bersifat progresif bertahap dan pada penderitanya tetap dalam keadaan sadar (normal consiousness).

"Gangguan memori (cognitive memory decline) adalah gejala paling awal dan paling nyata dari penyakit AD itu," kata ahli saraf luliusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada 1992 itu.

Pusat Analisis Determinan Kesehatan (PADK) Kementerian Kesehatan (http://www.padk.kemkes.go.id/) menyatakan bahwa penyakit AD tidak bisa dianggap remeh karena berdampak pada kerugian individu, sosial, dan ekonomi.

Disebutkan bahwa orang dengan AD akan mengalami gangguan, termasuk tidak mampu menjalankan kegiatan ekonomi secara maksimal, bahkan bisa tidak mampu sama sekali sehingga kondisi itu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan untuk penderita sendiri maupun keluarganya.

Penderita tak mampu bekerja sehingga tidak mempunyai penghasilan dan penghidupannya tergantung kepada orang di sekitar, terutama keluarganya, sedangkan keluarganya akan mengalami kerugian ekonomi karena harus mengeluar biaya "caregiver" atau perawat atau bahkan keluarganya sendiri yang akan berhenti bekerja untuk menjaga orang dengan demensia.

Kerugian ekonomi yang timbul diakibatkan hilangnya penghasilan bagi orang dengan demensia itu sendiri dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus orang dengan demensia meliputi biaya obat-obatan dan pendampingnya (caregiver).

Baca juga: Diet populer ini bisa bantu lawan demensia

Bila pendampingnya adalah anggota keluarganya maka kerugian ekonomi yang timbul berupa hilangnya penghasilan dari anggota keluarga yang berubah fungsi dari pekerja menjadi yang menjaga.

Laporan Alzheimers Disease International menyebutkan pada 2010 diperkirakan biaya perawatan penderita AD dan di Asia Tenggara mencapai empa miliar dolar AS, yang mencakup biaya obat-obatan dan fasilitas sosial yang dibutuhkan untuk mendukung penderita AD.

Kenali risiko

Dengan kondisi tersebut, menurut Andreas Harry yang juga anggota International Society to Advance Alzheimer Research and Treatment (ISTART) itu, terlebih di saat pandemi COVID-19 saat ini, yang diakui atau tidak, tidak sedikit stres dialami masyarakat akibat dampak multidimensi, masyarakat diajak untuk mengenali faktor-faktor risiko yang ada.

Sejumlah faktor risiko yang disebutkan yakni bertambahnya umur. Umur adalah faktor risiko paling signifikan dalam perkembangan AD, berkorelasi dengan deposisi peptida "amyloid–β" (Aβ 40 dan Aβ 42) di otak.

Ia menyebut faktanya fungsi mitokondria berkurang seiring usia mild cognitive impairment (MCI) atau gangguan kognitif ringan.

Seseorang dengan penurunan kognitif yang terdeteksi secara klinis memiliki kemungkinan menderita AD di kemudian hari.

Selain itu, faktor jender, yakni disebutkan perempuan lebih rentan terhadap AD dibandingkan dengan pria, karena mtDNA diturunkan secara maternal.

Ada juga faktor risiko dari riwayat keluarga dengan AD, yang merupakan salah satu faktor risiko yang paling konsisten, dan juga bagi penderita diabetes mellitus (kencing manis), melalui mekanisme vaskular atau interaksi enzim pendegradasi insulin dengan metabolisme amiloid.

Baca juga: Setop galau, dampaknya bisa terasa kala lanjut usia

Sedangkan mengenai faktor risiko karena tingkat pendidikan yang rendah, Andreas Harry secara pribadi tidak setuju berlaku umum, khususnya di Indonesia.

Ia menyebut pada masyarakat di Barat, seperti di AS maupun Eropa, dengan budaya makanan instan, seperti burger, faktor pendidikan rendah itu bisa saja menjadi faktor.

"Mungkin itu di Barat, saya tidak setuju faktor (pendidikan, red.) ini, karena di Indonesia, di desa masyarakat banyak makan sayur, makan singkong, itu semua sehat, dan malah tidak berisiko ketimbang yang makan burger. Di Barat lebih banyak karena tingginya kadar lemak," katanya.

Faktor risiko lainnya adalah penyakit serebrovaskular atau cedera kepala signifikan, hipertensi, homosistein yang tinggi dan juga diet serta tinggi lemak
Ahli penyakit saraf Indonesia dr Andreas Harry, SpS (K) (empat dari kanan) bersama tim sukarelawan menyalurkan bantuan satu truk bahan makanan dan minuman dari dermawan untuk perbaikan gizi bagi tenaga kesehatan yang bertugas di Rumah Sakit Darurat penanganan virus COVID-19 di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Rabu (25/3/2020). (ANTARA/Andi J/HO-tim sukarelawan)


Gejala awal

Kemenkes pun mengharapkan masyarakat perlu mengenali gejala awal AD mudah lupa, gangguan dalam berbahasa, disorientasi (waktu, tempat, orang), kesulitan mengambil keputusan, kemunduran (motivasi, inisiatif, minat), serta adanya tanda-tanda depresi.

Jika penyakit demensia sudah parah maka akan terjadi ketergantungan pada orang lain dalam hal penderita mengalami sulit makan, tidak kenal anggota keluarga, sulit menahan buang air kecil dan besar, serta gangguan perilaku yang sangat berat.

Sekurangya, ada 10 tanda-tanda dini AD yang dapat dikenali sebelum pikun menjadi tahap lanjut yakni pertama: penurunan daya ingat, misalnya lupa nama, lupa tempat menaruh benda kebingungan. Kedua, penderita penyakit itu dapat tersesat ketika ke luar rumah sendirian dan kadang tidak dapat mengingat di mana dia atau bagaimana dia bisa sampai di sana.

Ketiga, kesulitan melakukan tugas-tugas yang lazim, keempat, kesulitan mengerjakan kebiasaan sehari-hari, seperti makan, mandi, berpakaian, dan lainnya, dan kelima, perubahan kepribadian dan perilaku penderita penyakit alzheimer, yakni menjadi mudah marah, tersinggung, gelisah, atau jadi pendiam. Kadang-kadang, menjadi bingung, paranoid, atau ketakutan.

Keenam, ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk, ketujuh, adanya masalah dengan bahasa dan komunikasi, seperti tidak dapat mengingat kata-kata, nama benda-benda, atau memahami arti kata-kata umum. Kedelapan, memburuknya kemampuan visual dan spasial, seperti menilai bentuk dan ukuran suatu benda, kesembilan, kehilangan motivasi atau inisiatif dan ke-10 kehilangan pola tidur normal.

Harus definitif

Sebagai solusi dari menyikapi penyakit AD itu, solusi yang ditawarkan Andreas Harry adalah keharusan untuk pemastian secara definitif seseorang itu positif dinyatakan AD atau tidak.

"Jadi, sekarang demensia alzheimer harus definitif, dan bukan 'kemungkinan'. Kalau seseorang sudah definitif, berarti terima saja dan ditangani dengan baik, sehingga di era sekarang tidak boleh lagi dengan diagnosa menduga-duga dan harus definitif," katanya.

Baca juga: Mampukah minum kopi turunkan risiko demensia?

Selanjutnya dilakukan pengobatan, yakni setelah dinyatakan definitif, maka hanya bisa ditunda, apakah hingga dua atau tiga tahun dengan obat.

Untuk memperbaiki gejala klinis penyakit alzheimer, obat "memantine" masih menjadi pilihan utama di mana di Indonesia "memantine" dikenal dengan nama "Abixa", dan pilihan lain yang beredar di Indonesia adalah "Citicoline plus Phosfatidilserine" dengan nama Neugain.

Kemenkes menyebut upaya menunda AD yang bisa dilakukan yakni masyarakat harus meningkatkan pemahaman dan kepedulian terhadap gangguan AD, menumbuhkan kesadaran akan bahaya AD, melakukan penanganan yang tepat pada penderita demensia, dan mempromosikan pola hidup sehat, terutama bagi mereka yang berusia 40 tahun ke atas.

Untuk memperlambat timbulnya AD beberapa hal dapat dilakukan, yakni menurunkan/menjaga kadar kolesterol dalam darah, menurunkan/menjaga tekanan darah, mengendalikan diabetes, berolahraga secara teratur, terlibat dalam kegiatan yang merangsang pikiran, peningkatan kualitas hidup, diet sehat, dan gizi seimbang.

Namun, di luar upaya tersebut, termasuk masih dilakukan peneliti berlomba-lomba untuk mencari pengobatan di masa depan, termasuk dengan imunisasi, bagi Andreas Harry, kata kunci yang disodorkannya yang selama ini sudah dikenal, yakni "mencegah lebih baik ketimbang mengobati".

Menjawab peserta webinar Sutikno Anggoro, ia mengajak untuk terus melatih kesehatan otak dengan berpikir positif seperti yang sederhana, yakni mengisi teka teki silang (TTS) untuk mengasah memori.

Guru yang mengajar secara periodik memorinya jauh lebih baik dari pada yang lain, karena melatih proses berpikirnya sehingga konsolidasi berpikirnya terjadi dengan baik,

"Otak kita jangan terlalu dibebani dengan stres berlebihan dan beri nutrisi otak yang baik, seperti istirahat, cukup tidur, dan menerapkan 4 sehat 5 sempurna," katanya.

Secara rinci, Kemenkes menambahkan perlunya mengonsumsi buah dan sayuran berwarna oranye dan hijau, seperti wortel, yang terbukti bermanfaat untuk penundaan penurunan kognitif hingga 13 tahun lamanya.

Antioksidan karotenoid yang dikandung buah dan sayur berwarna oranye dan hijau yang menghasilkan pigmen berwarna cerah pada buah dan sayur tertentu ini dapat membantu menetralkan radikal bebas (molekul-molekul yang bisa merusak sel-sel tubuh), termasuk melindungi tubuh dari berbagai gangguan, misalnya kanker, diabetes. Sayuran berdaun hijau, wortel, labu, dan ubi jalar sarat akan karotenoid.

Baca juga: Memahami Alzheimer, penyakit pikun
Baca juga: Gemar konsumsi makanan pedas berisiko demensia