Sri Mulyani bebaskan PPN bahan baku kertas untuk media mulai Agustus
Dokumentasi - Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kanan) bersama Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi (kanan) mencoba mengoperasikan sistem NED dalam kegiatan Peresmian National Export Dashboard (NED) dan Sarasehan Komoditas Ekspor Unggulan, di Jakarta, Rabu (27/2/2019). NED merupakan pusat informasi berbasis "web-based" yang menyediakan data mengenai ekspor-impor, neraca perdagangan, database eksportir Indonesia, daya saing produk ekspor, perkembangan ekonomi Indonesia, perkembangan ekonomi negara utama, risiko negara tujuan ekspor, perkembangan pasar komoditas, pasar keuangan, jaringan perbankan, proyeksi ekspor, harga komoditas dan dalam kegiatan tersebut juga dipaparkan mengenai hasil kajian Indonesia Eximbank Institute dan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengenai proyeksi ekspor berdasarkan industri untuk 10 komoditas ekspor unggulan serta analisa rantai pasok 5 komoditas unggulan ekspor meliputi minyak sawit, kayu olahan, pulp dan kertas, tekstil, dan perikanan tuna. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp.
“Saya sampaikan bagi teman-teman media untuk PPN bahan baku kertas kita sudah menetapkan ditanggung pemerintah. Jadi mulai Agustus ini PPN- nya ditanggung oleh pemerintah,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Sabtu.
Sementara itu, Sri Mulyani menyatakan untuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait PPN bahan baku kertas bagi industri media massa yang ditanggung pemerintah itu akan segera dikeluarkan.
Baca juga: Ditjen Pajak targetkan Agustus 2020 produk digital impor kena PPN
“PMK nya sudah akan keluar. Sudah diharmonisasikan. Kemarin dewan pers menyampaikan beberapa hal untuk bisa membantu survivalability dari media yang konvensional seperti cetak,” ujarnya.
Tak hanya itu, ia menuturkan pemerintah juga memberikan insentif lain bagi industri media massa baik konvensional maupun digital seperti pengurangan beban listrik dengan menanggung minimum tagihan yang harus dibayar kepada PLN.
Ia menjelaskan selama ini industri media massa mempunyai kewajiban untuk membayar minimum tagihan meskipun penggunaan listriknya jauh lebih kecil ketika operasi usaha sedang menurun seperti dalam masa COVID-19.
“Listriknya dikurangi dalam artian membayar sesuai yang dipakai saja. Ini kita terapkan tidak hanya untuk media tapi juga industri bisnis dan sosial,” jelasnya.
Selanjutnya, Sri Mulyani mengatakan untuk penundaan pembayaran BPJS Ketenagakerjaan bagi industri media massa saat ini Peraturan Pemerintah (PP) terkait hal itu masih dalam proses penyelesaian.
Baca juga: Pengamat: Penerimaan PPN turun belum tentu karena konsumsi melemah
“Kita PP-nya sedang dalam proses penyelesaian. Semoga dapat ditunda sampai Desember sehingga bisa meringankan,” ujarnya.
Di sisi lain, Sri Mulyani mengatakan ia belum dapat memberikan keputusan mengenai insentif berupa BPJS Kesehatan bagi industri media massa.
Ia juga masih enggan memberikan penjelasan secara detil terkait bentuk insentif bagi industri media massa melalui BPJS Kesehatan tersebut.
“Suasana kondisi BPJS Kesehatan sendiri mesti harus diperhatikan jadi saya belum bisa memberikan keputusan untuk hal itu. Nanti akan kita lihat apakah perlu,” katanya.
Sri Mulyani melanjutkan, pemerintah turut menurunkan pajak penghasilan (PPh) menjadi 50 persen untuk pembayaran masanya.
“Kita lakukan ini dalam rangka merespons kebutuhan masing-masing industri yang secara spesifik pasti memiliki kondisi tertentu,” ujarnya.
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020