"Menurut saya, ditolak itu bukan berarti tidak harus diundangkan, tapi memperbaiki kelemahan-kelemahan. Dalam praktik implementasi saya pikir hal-hal itu pasti akan terjadi ketidaksetujuan maka itu menjadi kritik bagi pemerintah untuk memperbaiki itu, tapi tanpa itu nanti kita tidak akan pernah maju,” katanya saat menjadi pembicara pada diskusi daring bertajuk Strategi Jitu Bangkitkan Ekonomi Pascapandemi di Semarang, Jumat.
Ia menilai RUU Cipta Kerja memiliki semangat yang baik untuk mengatasi hambatan-hambatan regulasi dan dalam praktik implementasi perundang-undangan sering kali terjadi ketidaksesuaian antarundang-undang.
Setiap undang-undang, lanjut dia, bisa saling meniadakan dan RUU Cipta Kerja pada dasarnya menyinkronkan dan spirit dalam undang-undang itu sebenarnya ingin mengurangi hambatan-hambatan yang terjadi secara parsial karena berlakunya sebuah undang-undang.
"Banyak dalam praktik perundang-undangan ketika diimplementasikan itu tidak sinkron sehingga itu tidak jalan di level bawah dan buktinya ada seperti yang terjadi saat ini yakni penyerapan anggaran penanganan COVID-19 yang baru terserap beberapa persen. Jadi menurut saya biarlah ketidaksetujuan itu biar menjadi masukan, tapi RUU Cipta Kerja itu juga menurut saya suatu upaya yang juga harus dilihat banyak sisi positifnya," ujarnya.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro ini setuju jika RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU agar hambatan yang selama ini muncul dan pasti akan terjadi itu mulai dipangkas.
"Jujur saya termasuk yang sangat setuju dengan UU Cipta Kerja, dengan segala kelemahannya yang perlu diatasi karena dengan begitu, hambatan-hambatan yang selama ini muncul dan pasti akan terjadi itu mulai dipangkas," katanya.
Setelah RUU Cipta Kerja disahkan, F.X Sugiyanto meminta agar peraturan di bawahnya itu harus lebih intensif lagi dan kolaborasi antarkementerian serta organisasi perangkat daerah (OPD) di tingkat daerah.
Ekonom Universitas Katolik Soegijapranata Andreas Lako yang juga menjadi pembicara, berpendapat RUU Cipta Kerja adalah sesuatu yang krusial dan mendesak dalam situasi pemulihan ekonomi di tengah pandemi COVID-19 terutama untuk melindungi pekerja dari radikalisme ekonomi dan melindungi dunia usaha dari radikalisme sosial.
"Kalau saya lihat itu menjadi krusial dan urgent, secara keseluruhan dari kaca mata saya sebagai akademisi bukan dari pekerja atau aktivis pekerja, dalam konteks memberikan peningkatan perlindungan dan peningkatan kesejahteraan kepada karyawan itu sudah bagus," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa saat dunia usaha akan kembali aktif dengan ketentuan adaptasi kebiasaan baru, maka para pekerja yang dirumahkan akan direkrut kembali dan merekrut pekerja baru.
"Jika itu disahkan, para pekerja bisa punya pegangan. Tidak ada UU yang menyenangkan semua orang, tapi ini memberikan semacam perlindungan dari tindakan radikalisme ekonomi dari pelaku usaha," ujarnya.
Begitu juga sebaliknya, UU ini akan memberikan jaminan perlindungan dunia usaha dari radikalisme sosial dari para pekerja.
Andreas berpendapat masih ada faktor pendukung lain yang harus terjaga sebuah daerah agar bisa menarik investasi, tidak hanya pengesahan RUU Cipta Kerja.
"Faktor lain yang akan mempengaruhi adalah bagaimana perkembangan penanganan COVID-19 di daerah tersebut. Jika penanganan dan pengendaliannya bagus, maka industri akan senang. Investor juga melihat apakah tata kelola dunia usaha di daerah tersebut bagus atau tidak. selanjutnya apakah tenaga kerja yang tersedia, dari sisi etos kerja dan daya produktifitas bagus atau tidak," kata Andreas Lako.
Baca juga: DPR-serikat pekerja sepakati klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker
Baca juga: Kemenaker lakukan penyempurnaan draf RUU Cipta Kerja
Baca juga: DPR-serikat pekerja bentuk Tim Perumus temukan solusi RUU Cipta Kerja