Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron menyatakan dana Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) harus menjadi stimulus atau pendorong agar petani kelapa sawit naik kelas atau tak bergantung pada lembaga tersebut.
Dana BPDPKS, menurut Herman di Jakarta, Rabu, dibanding luas kebun kelapa sawit rakyat kecil sekali yakni tiap tahun hanya Rp20 triliun, sehingga petani jangan terjebak semuanya tergantung pada pendanaanya.
"Kelihatan besar tetapi dibandingkan dengan kebutuhan pendanaan pasti tidak cukup. Jadi dana BPDPKS harus jadi stimulus saja untuk peningkatan produktivitas," ujarnya
Dalam jangka panjang, lanjutnya pada webinar Forum Diskusi "Sawit Optimalkan Produktivitas Sawit Rakyat: Peluang dan Tata Cara Mendapatkan Dana Dukungan Sawit", petani naik kelas masuk dalam ekosistem komersial.
Politisi Partai Demokrat itu menjelaskan dana dari BPDPKS bisa diarahkan untuk memperbesar manfaat sawit yakni untuk mengentaskan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah terpencil, pembangunan pedesaan, lapangan kerja, sumber devisa negara dan ketahanan energi.
"Pembiayaan sawit harus mengarah untuk meningkatkan enam fungsi kelapa sawit ini," katanya dalam diskusi yang digelar POPSI (Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia) dan Media Perkebunan itu.
Dikatakannya, kelapa sawit dengan skala keekonomiannya yang ada sekarang seharusnya pembiayaan untuk petani tidak perlu menggunakan skim kredit khusus tetapi bisa menggunakan kredit komersial.
Masalahnya, tambahnya, petani banyak terkendala lahan seprti legalitas, masuk dalam kawasan hutan, data luas tidak valid, produktivitas rendah karena tanaman tua, bibit illegal, tidak menerapkan budidaya yang baik akibat rendahnya SDM dan kelembagaan lemah.
Selain itu akses pendanaan sulit, harga tandan buah segar (TBS) rendah karena pabrik enggan menerima, mata rantai panjang serta, potongan pabrik.
"Dengan kondisi petani seperti ini maka bank sulit memberikan kredit komersial pada petani karena tidak yakin mampu melunasi. Sedang perusahaan besar sawit sama sekali tidak ada masalah, malah keuntungan perkebunan kelapa sawit lebih besar dari perusahaan pertambangan," katanya.
Sementara itu, lanjutnya, Keunggulan sawit adalah produk turunannya sangat banyak sehingga kalau satu produk terkendala pemasaran bisa dialihkan ke produk lain.
Karena itulah tahun 2014 ketika masih menjadi anggota Komisi IV DPR, Herman menyatakan, ikut membidani lahirnya UU nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan, salah satunya adalah penghimpunan dana perkebun dari pelaku usaha perkebunan yang wujudnya sekarang adalah BPDPKS.
Sebelumnya pada 2013, tambahnya, lahir UU nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, salah satu pasalnya adalah mempermudah petani mengakses dana perbankan.
"Lahirnya BPDPKS merupakan upaya kita memberi garansi historikal kepada petani bahwa pungutan ekspor akan kembali ke mereka untuk meningkatkan produktivitas. Targetnya mereka jadi mapan sehingga pendanaan bisa menggunakan dana komersial," katanya.
Jadi, menurut dia, urutan alokasi dana BPDPKS kalau mengacu pada tujuan awal pendiriannya sehingga DPR mengeluarkan persetujuan adalah peremajaan sawit rakyat, pelatihan dan pengembangan SDM petani, penelitian dan pengembangan, promosi , dukungan sarana dan prasarana dan terakhir biodiesel.
Untuk itu, tambahnya, BPDPKS harus kembali ke khitahnya yaitu pembiayaan lebih banyak ke hulu untuk peremajaan, pelatihan dan pengembangan SDM, penelitian dan pengembangan yang membuat produktivas petani naik.
"Setelah itu tercapai petani naik kelas sehingga bisa menggunakan kredit komersial. Jadi tidak ada lagi skim khusus atau dana pemerintah membiayai petani," katanya.
Baca juga: Pemerintah dorong BPDPKS capai target peremajaan sawit rakyat
Baca juga: Pemerintah ajak milenial ikut sebarkan informasi positif soal sawit
Legislator: Dana BPDPKS harus jadi stimulus petani naik kelas
19 Agustus 2020 19:07 WIB
Ilustrasi. Tanda Buah Segar (TBS) kepala sawit yang menjadi primadona petani perkebunan di Jambi.(ANTARA/HO)
Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020
Tags: