Jakarta (ANTARA News) - Selain pengawasan dan penyusunan anggaran, fungsi penting DPR lainnya adalah menjalankan perananan legislasi atau merancang peraturan perundang-undangan sebelum disahkan eksekutif menjadi undang-undang.

Kendati masih seumur jagung, DPR Periode 2009-2014 melalui Badan Legislasi berupaya menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang akan diselesaikan hingga tahun 2014.

DPR kali ini telah menegaskan komitmennya bahwa sebagai lembaga legislatif, fungsi legislasi DPR seharusnya lebih dominan dibandingkan dua fungsi lainnya, yakni pengawasan eksekutif dan fungsi penyusunan anggaran.

Legislasi merupakan bagian penting dari penyelenggaraan negara, karena produknya merupakan landasan bertindak bagi penyelenggara negara. Legislasi juga merupakan mekanisme untuk mengubah kondisi sosial masyarakat menjadi lebih baik dan menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat.

Bersamaan dengan berakhirnya masa persidangan I DPR pada 5 Desember, paripurna DPR akhirnya memutuskan Prolegnas tersebut sebagai kerangka kerja legislasi DPR hingga berakhirnya masa bhakti pada 2014.

Sebanyak 248 RUU telah disahkan sebagai agenda legislasi DPR selama 2010-2014. Sementara untuk prioritas tahunan pada 2010 akan disahkan sebanyak 58 RUU.

Menurut Ketua Badan Legislasi DPR Ignatius Mulyono, badan itu telah berkomitmen untuk lebih cermat dan selektif dalam memasukkan rancangan undang-undang (RUU) yang akan disusun dalam Prolegnas 2009-2014.

Artinya, DPR saat ini tidak akan mengejar kuantitas, melainkan menekankan kualitas UU yang keberadaannya benar-benar dibutuhkan masyarakat.

"Kita tentunya tidak menginginkan setiap RUU yang disahkan kemudian diuji materi lagi oleh masyarakat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan karena itu penekanan pada kualitas ini menjadi penting," ujarnya dalam satu kesempatan.

Tidak hanya itu, demi membuka kran partisipasi publik, DPR juga memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk berkontribusi dalam proses pengusulan undang-undang apa saja yang selayaknya dibahas para wakil rakyat.

Pada prinsipnya, Badan Legislasi membuka seluas-luasnya aspirasi masyarakat dan DPR berharap sekecil apa pun aspirasi masyarakat itu tidak boleh terlewati dalam penyusunan Prolegnas 2009-2014.

"Namun bagi masyarakat yang ingin menyampaikan usulan RUU ke DPR, seyogianya jangan sekadar mengajukan judul RUU saja, tetapi juga diiringi dengan kajian awal pentingnya keberadaan RUU itu," ujar Mulyono.

Melengkapi penyusunan Prolegnas, DPR telah memprakarsai pula pemilahan RUU mana saja yang nantinya menjadi usul inisiatif DPR dan RUU yang akan diajukan pemerintah, berikut jumlahnya.

Selain itu, badan itu juga akan mengkaji 150 judul RUU yang belum pernah masuk dalam pembahasan Prolegnas prioritas tahunan dan 54 RUU yang belum selesai dibahas DPR periode sebelumnya.

Pengkajian tersebut dilakukan karena DPR periode 2009-2014 perlu menentukan arah dan kebijakan politik hukum yang akan dibangun dalam lima tahun kedepan.

Sementara terhadap RUU yang belum selesai dibahas DPR periode sebelumnya, akan dibahas di internal DPR dan selanjutnya dikoordinasikan dengan pemerintah.

Guna memaksimalkan pelaksanaan fungsi legislasi itu, saat ini Badan Legislatif sudah diperkuat dengan 19 tenaga ahli, 20 "legal drafter" serta keberadaan deputi bidang perundang-undangan Setjen DPR.

Prolegnas


Terkait dengan rencana kerja legislasi DPR itu, Indonesian Parliamentary Center (IPC) menilai bahwa ternyata anggota DPR periode 2009-2014 belum mengambil pelajaran dari DPR periode sebelumnya terkait target pembentukan UU yang akan disahkan melalui prolegnas.

Menurut lembaga nonpemerintah yang memberi perhatian kepada kinerja DPR RI itu, prolegnas yang disahkan DPR tidak realistis. Jika dibandingkan dengan DPR periode sebelumnya, DPR Periode 2004-2009 hanya berhasil menyelesaikan 186 RUU dari 335 RUU yang direncanakan dalam prolegnas 2005-2009 atau sekitar 56 persen selama lima tahun.

Dari jumlah tersebut, RUU yang di luar prolegnas sebanyak 166 RUU. Sedangkan RUU yang berasal dari prolegnas sendiri sekitar 70 RUU. Sejumlah 15 UU yang sudah disahkan paripurna DPR kemudian diajukan judicial review ke MK.

Sebagian besar UU yang disahkan oleh DPR periode 2004-2009 masih didominasi oleh UU Pemekaran dan UU "pesanan" beberapa instansi pemerintah yang dikebut penyelesaiannya pada satu bulan terakhir periode DPR 2004-2009.

Masih tingginya angka UU yang diselesaikan dan bukan berasal dari prolegnas ssungguhnya berpotensi "mengerdilkan" prolegnas itu sendiri.

Sementara itu, jika mengacu pada UU Nomor 27 tahun 2009 tentang Lembaga Perwakilan, telah disebutkan sejumlah aturan baru terkait proses legislasi itu. Misalnya, satu anggota DPR tidak boleh menjabat lebih dari tiga pansus dan komisi hanya boleh membahas dua RUU secara bersamaan.

Tentunya, dengan ketentuan-ketentuan baru tersebut, maka jumlah 58 RUU dalam satu tahun pasti akan sulit tercapai.

Hal-hal demikian itu, menurut IPC, telah menunjukkan bahwa perencanaan prolegnas kali ini ternyata masih kurang matang dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, dikarenakan masih minimnya angka pencapaian atau target yang ada.

"Jadi sebaiknya jumlah RUU yang akan diselesaikan dalam prolegnas itu disesuaikan dengan kemampuan DPR RI," kata Koordinator IPC Ahmad Hanafi.

Kemampuan tersebut dapat diukur dengan menghitung jumlah anggota, jumlah komisi dan kemungkinan jumlah terbentuknya pansus, sehingga target yang harus dicapai cukup realistis.

Tidak hanya IPC, Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) Dewan Perwakilan Daerah juga mencatat hal yang sama.

PPUU DPD mencatat kurangnya realisasi Prolegnas Tahun 2004-2009 dikarenakan DPR bersama Pemerintah lebih banyak membahas RUU di luar daftar prolegnas.

Selama lima tahun itu, kata Ketua PPUU I Wayan Sudirta, hanya 58,5 persen dari 130 RUU yang sudah terdaftar dalam Prolegnas 2004-2009 yang disahkan menjadi undang-undang (UU) oleh DPR.

"Ini karena DPR bersama Pemerintah telah membahas RUU di luar Prolegnas hingga 40,7 persen dari seluruh RUU yang ditetapkan menjadi UU dalam kurun waktu tersebut," katanya.

PPUU DPD menyebutkan bahwa jumlah daftar RUU Prolegnas 2004-2009 adalah 130 dengan realisasi 76 (58,5 persen), sedangkan RUU non-Prolegnas 2004-2009 adalah 27 dengan realisasi 11 (40,7 persen).

RUU non Prolegnas tersebut terdiri atas 58 daftar RUU kumulatif terbuka tentang pembentukan daerah provinsi/kabupaten/ kota dengan realisasi 58 (100 persen) dan 11 daftar RUU kumulatif terbuka tentang pengesahan perjanjian internasional (di luar daftar prolegnas) dengan realisasi 9 (81,8 persen).

Kemudian, 10 daftar RUU kumulatif terbuka setelah putusan MK dengan realisasi 7 (70 persen), 16 daftar RUU kumulatif terbuka tentang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan realisasi 16 (100 persen).

Lalu, empat daftar RUU kumulatif terbuka tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi dengan realisasi empat (100 persen), dan 13 daftar RUU kumulatif terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dengan realisasi 12 (92,3 persen).

Menurut Wayan Sudirta, penyebab lain kurangnya realisasi adalah prolegnas tidak sesuai dengan program pembangunan nasional.

Sebagai bagian pembangunan hukum nasional, menurutnya, seharusnya prolegnas melegalisasi pembangunan nasional yang mencerminkan kebutuhan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).

Untuk Prolegnas 2010-2014, PPUU DPD mengusulkan 108 RUU yang mempertimbangkan masalah-masalah di daerah sekaligus menjadikan prolegnas sebagai grand design atau desain besar pembangunan hukum di Indonesia.

Kendati penyusunan prolegnas itu telah mengundang sejumlah kritik, namun ada pula hal-hal yang tampaknya patut mendapat pengharagaan.

"Pasalnya, substansi sejumlah RUU yang akan dikerjakan oleh DPR itu merupakan RUU yang lebih berpihak kepada rakyat," kata Koordinator IPC Ahmad Hanafi.

Sejumlah RUU tersebut, diantaranya RUU Bantuan Hukum dan RUU Penanganan Fakir Miskin. Di samping itu juga ada revisi UU yang memang sangat penting untuk diperbaiki, seperti UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang Penyelengara Pemilu dan juga Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Terkait dengan banyaknya UU yang di-judicial review ke MK, LSM itu menyarankan sebaiknya Badan Legislasi membuat mekanisme evaluasi internal terkait materi yang sudah mengalami judicial review.

Evaluasi itu diperlukan agar DPR mengetahui titik kekurangannya dalam setiap pembahasan undang-undang. Dengan demikian kesalahan serupa tidak terulang kembali.

Tidak kalah pentingnya pula adalah perlu adanya konsultasi publik atas materi-materi RUU pada prolegnas. Semakin banyak mengakomodir kepentingan masyarakat, maka semakin lengkap pula materi-materi RUU prolegnas 2009-2014. (*)