Jakarta (ANTARA) - Pakar Epidemi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan laporan riset obat COVID-19 hasil penelitian Universitas Airlangga (Unair) seharusnya dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"Seharusnya laporan riset obat kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM terlebih dahulu. Bukan ke TNI atau BIN sebagai sponsornya dan langsung mengumumkan ke publik secara terbuka bahwa penelitian mereka berhasil dan memberikan klaim sebagai penemuan obat COVID-19 pertama di dunia," ujar Pandu dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, hal itu tidak sesuai dengan prosedur yang sudah ada, yang mana uji klinik pertama obat COVID-19 sementara prosedur riset yang tak terbuka serta klaimnya tidak mengikuti standar uji klinik yang baku.

Baca juga: Unair: Kombinasi obat penawar COVID-19 tunggu izin produksi BPOM

"Itu sebabnya akan banyak akademisi yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut," jelas dia.

Dia menduga penelitian tim riset Unair itu belum direview oleh dunia akademis sesuai standar yang berlaku. Jika hal itu terjadi, maka laporan risetnya belum sesuai kaidah standar laporan ilmiah untuk uji klinis.

Padahal, ada persyaratan uji klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional, dan harus diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Baca juga: Unair telah selesaikan uji klinis tahap ketiga obat penawar Covid-19

“Biasanya setiap uji klinis harus diregistrasi secara internasional, dan protokol harus bisa diakses oleh dunia akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman https://www.isrctn.com/, https://www.who.int/ictrp/en/,”jelas dia.

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengingatkan seharusnya tim Unair ikut prosedur yang terbuka, dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan akademis yang memahami prosedur uji klinik. Semua harus mengedepankan aspek transparan.

​​​​​​Selama tahapan riset harus dipantau oleh tim "clinical monitoring" yang independen. Selain itu, secara administratif dan transparansi mesti ada "independent clinical monitor", "Data Safety Monitorign Board" (DSMB) minimal tiga orang, meliputi masing-masing satu ahli farmakologi, biostatistik dan ahli penyakit yang diteliti.

Baca juga: Uji klinis kombinasi obat penawar COVID-19 Unair segera diserahkan

"Selain itu, harus terdaftar di International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya,” kata dia lagi.

Dia mengatakan tim clinical monitor dari BPOM dan kelompok independen yang mengevaluasi data uji klinik sehari-hari. Pihak clinical monitor melapor ke peneliti jika ada kesalahan prosedur untuk perbaikan. Laporannya juga ke DSMB.

Pandu menilai terdapat kesalahan prosedur yaitu memasukkan orang tanpa gejala dalam subjek riset, karena ambil kasus di rumah susun isolasi di Lamongan dan Secapa.

Pandu juga mengingatkan setiap ada perubahan protokol riset harus dilaporkan dan direview oleh Komite Etik Penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM.

Baca juga: Unair segera evaluasi uji klinis kombinasi obat penawar COVID-19

Komite Etik yang independen, harap Pandu, sebaiknya dari Balitbangkes Kemenkes dan beberapa pakar dari luar Unair sendiri.
Pandu berharap agar BPOM bersikap tegas, apabila hasil penelitian tersebut belum memenuhi syarat.

Sebelumnya, Unair telah menyelesaikan uji klinis tahap ketiga obat penawar penanganan COVID-19. Rektor Unair Mohammad Nasih mengatakan obat tersebut akan menjadi obat COVID-19 pertama di dunia.

Penelitian tersebut dilakukan bersama dengan TNI AD, BIN, dan Polri. Obat baru tersebut kombinasi dari tiga jenis obat yakni Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyline, Hydrochloroquine dan Azithromyci.

Baca juga: Menko PMK tawarkan bantuan ke Unair dukung penelitian obat COVID-19