Komnas PT: Seharusnya penerimaan cukai tinggi tidak dibanggakan
18 Agustus 2020 16:18 WIB
Dokumentasi - Pekerja perempuan memasang pita cukai di industri rokok rumahan di Desa Plandi, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (8/1/2020). ANTARA FOTO/Syaiful Arif/foc.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan penerimaan yang tinggi dari cukai rokok seharusnya tidak dibanggakan karena merupakan denda dari perilaku yang tidak konsisten dengan prinsip hidup sehat serta membahayakan diri dan orang lain.
"Seharusnya kita sedih kalau penerimaan dari cukai tinggi karena berarti banyak yang didenda, banyak yang perilakunya tidak sehat serta membahayakan diri dan orang lain," kata Hasbullah dalam jumpa pers Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia secara daring yang diikuti dari Jakarta, Selasa.
Hasbullah mengatakan selama ini banyak kesalahpahaman dan informasi yang tidak benar, termasuk yang dipahami para pejabat negara, tentang cukai. Sampai-sampai industri rokok dianggap sebagai industri strategis karena produknya memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara dari cukai.
Menurut Hasbullah, cukai rokok bukan kontribusi dari industri rokok, melainkan denda yang dikenakan kepada para perokok. Pengenaan cukai pada produk tembakau dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi tembakau, bukan sebagai penerimaan negara.
"Sama halnya pada masa pandemi COVID-19 saat ini, orang yang tidak memakai masker akan didenda karena tidak mengikuti perilaku hidup sehat dan bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain," tuturnya.
Baca juga: Rektor ITB Ahmad Dahlan: Cukai bukan untuk pemasukan negara
Karena itu, cukai tembakau yang mencapai Rp170 triliun itu bukanlah kontribusi industri tembakau. Kontribusi nyata industri tembakau hanyalah melalui pajak, yang itu pun nilainya sangat kecil bila dibandingkan kerusakan yang disebabkan oleh perilaku merokok.
Baca juga: Peneliti: Simplifikasi tarif CHT perlu kedepankan kesehatan masyarakat
Hasbullah mencontohkan salah satu industri rokok dalam negeri, yang sebagian sahamnya sudah dimiliki industri rokok global. Pajak yang disetorkan industri itu hanya Rp4,5 triliun, sementara keuntungannya mencapai 13 triliun yang itu dibawa ke luar negeri oleh industri rokok global pemilik saham.
"Banyak artikel ilmiah kesehatan yang menyatakan rokok merusak. Muhammadiyah bahkan sudah mengharamkan rokok. Kalau kesehatan puluhan juta orang rusak karena rokok, maka rusaklah produktivitas bangsa ini," katanya.
Baca juga: Produksi domestik cukup, Anggota DPR hendaki impor tembakau dihentikan
Hasbullah mengatakan negara harus melindungi rakyatnya. Dia meminta para pejabat negara untuk menyadari tugas mereka untuk melindungi rakyat, bukan melindungi industri yang mencari keuntungan dengan produknya yang merusak.
"Mereka mencari keuntungan, tetapi negara yang bertanggung jawab mengobati kerusakannya. Para pejabat negara yang sudah sadar, beranilah berjuang untuk kepentingan rakyat," tuturnya.
"Seharusnya kita sedih kalau penerimaan dari cukai tinggi karena berarti banyak yang didenda, banyak yang perilakunya tidak sehat serta membahayakan diri dan orang lain," kata Hasbullah dalam jumpa pers Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia secara daring yang diikuti dari Jakarta, Selasa.
Hasbullah mengatakan selama ini banyak kesalahpahaman dan informasi yang tidak benar, termasuk yang dipahami para pejabat negara, tentang cukai. Sampai-sampai industri rokok dianggap sebagai industri strategis karena produknya memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara dari cukai.
Menurut Hasbullah, cukai rokok bukan kontribusi dari industri rokok, melainkan denda yang dikenakan kepada para perokok. Pengenaan cukai pada produk tembakau dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi tembakau, bukan sebagai penerimaan negara.
"Sama halnya pada masa pandemi COVID-19 saat ini, orang yang tidak memakai masker akan didenda karena tidak mengikuti perilaku hidup sehat dan bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain," tuturnya.
Baca juga: Rektor ITB Ahmad Dahlan: Cukai bukan untuk pemasukan negara
Karena itu, cukai tembakau yang mencapai Rp170 triliun itu bukanlah kontribusi industri tembakau. Kontribusi nyata industri tembakau hanyalah melalui pajak, yang itu pun nilainya sangat kecil bila dibandingkan kerusakan yang disebabkan oleh perilaku merokok.
Baca juga: Peneliti: Simplifikasi tarif CHT perlu kedepankan kesehatan masyarakat
Hasbullah mencontohkan salah satu industri rokok dalam negeri, yang sebagian sahamnya sudah dimiliki industri rokok global. Pajak yang disetorkan industri itu hanya Rp4,5 triliun, sementara keuntungannya mencapai 13 triliun yang itu dibawa ke luar negeri oleh industri rokok global pemilik saham.
"Banyak artikel ilmiah kesehatan yang menyatakan rokok merusak. Muhammadiyah bahkan sudah mengharamkan rokok. Kalau kesehatan puluhan juta orang rusak karena rokok, maka rusaklah produktivitas bangsa ini," katanya.
Baca juga: Produksi domestik cukup, Anggota DPR hendaki impor tembakau dihentikan
Hasbullah mengatakan negara harus melindungi rakyatnya. Dia meminta para pejabat negara untuk menyadari tugas mereka untuk melindungi rakyat, bukan melindungi industri yang mencari keuntungan dengan produknya yang merusak.
"Mereka mencari keuntungan, tetapi negara yang bertanggung jawab mengobati kerusakannya. Para pejabat negara yang sudah sadar, beranilah berjuang untuk kepentingan rakyat," tuturnya.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: