Jakarta (ANTARA News) - Departemen Pertanian (Deptan) mengungkapkan tidak benar kakao Indonesia mengandung residu bahan aktif 2.4-Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D) sebagaimana laporan pemerintah Jepang.

Dirjen Perkebunan Deptan, Achmad Mangga Barani, di Jakarta, Senin, mengatakan, awal Maret lalu, Jepang mengirimkan nota keberatan kepada Singapura bahwa kakao yang diekspor ke negara tersebut mengandung residu bahan aktif 2,4-D melebihi batas toleransi yakni 0,01 ppm seperti yang ditetapkan Legislation on Food (Badan Pengawasan Makanan).

Namun, tambahnya, Singapura melalui Cocoa Association of Asia mengakui bahwa kakao tersebut berasal dari Indonesia, khususnya yang dihasilkan para petani kakao di Sulawesi dan Sumatera.

"Selama ini, Indonesia tidak mengekspor kakao secara langsung ke Jepang, tapi melalui Singapura," katanya.

Mangga Barani menyatakan, sebagai respon klaim Singapura dan Jepang tersebut, pemerintah membentuk tim kajian penggunaan herbisida 2,4-D pada tanaman kakao.

Tim tersebut terdiri atas Departemen Pertanian, perguruan tinggi, Komisi Pestisida, Dewan Kakao Indonesia, dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

"Setelah tim bekerja, ternyata yang dituduhkan tersebut tak terbukti sama sekali," katanya.

Namun demikian, Dirjen mengakui, para petani menggunakan herbisida 2,4-D untuk mematikan gulma berdaun lebar pada tanaman jagung yang penanamannya dilakukan secara tumpang sari dengan kakao pada saat tanaman itu belum menghasilkan.

Dalam penggunaan herbisida pada tanaman jagung itu, tambahnya, secara disemprotkan ada yang mengenai tanaman kakao.

Senyawa 2,4-D tersebut, menurut dia, dapat menurunkan hormon tiroid dan menurunkan organ seks selain itu senyawa ini juga dilaporkan sebagai senyawa karsenogenik (penyebab kanker), cacat kelahiran, menghambat produksi sperma, dan menghambat perkembangan otak.

Sementara itu, Prof Dr Sri Noegrohati, guru besar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang merupakan salah satu tim peneliti mengungkapkan bahwa sampel biji kakao dan bubuk kakao yang dihasilkan para petani Indonesia, secara umum memang mengandung residu herbisida 2,4-D.

"Namun kandungannya masih sangat rendah atau di bawah ambang toleransi yang diterapkan Legislation on Food yakni 0,01 ppm. Tepatnya 0,001 ppm," katanya.

Sedangkan Prof Untung Surapati, guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar mengatakan, pihaknya melakukan kajian penggunaan herbisida 2,4-D oleh petani di sentra produksi kakao Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Di empat daerah itu, lanjutnya, diambil sampel biji kakao dari petani dan perusahaan pengolah untuk selanjutnya dibawa ke Laboratorium Farmasi UGM untuk diteliti.

Menyikapi hasil temuan tersebut, pemerintah akan mengambil langkah agar ekspor kakao Indonesia tak ditolak Jepang.

Langkah tersebut antara lain dengan melakukan sosialisasi hasil penelitian tersebut kepada sesama pemangku kepentingan di dalam negeri dan luar negeri.

"Namun, langkah yang paling penting saya rasa adalah dengan cara G to G," kata Dirjen Perkebunan.

Menurut dia, pemerintah RI akan minta Pemerintah Jepang agar mencabut keputusan yang mewajibkan setiap pengiriman produk kakao olahan ke Jepang melampirkan sertifikat bebas kandungan 2,4-D karena ini mengakibatkan biaya tinggi.

Menurut dia, total ekspor kakao Indonesia ke Jepang sebenarnya tidak terlalu besar bahkan masih kalah jika dibandingkan ke Eropa atau Amerika Serikat.

"Namun demikian, kita tetap antisipasi, sebab kalau tidak, bisa-bisa Eropa dan Amerika ikut-ikutan mengancam kita," katanya.

Data Deptan menyatakan, total ekspor kakao Indonesia ke Jepang pada 2009 (hingga Juli) mencapai 1.136,04 ton atau senilai 4,58 juta dolar AS.

Ekspor tersebut dalam bentuk cocoa beans sebanyak 315 ton, cocoa liquor (20 ton), cocoa butter (560 ton), cocoa powder (126,3 ton), dan dalam bentuk makanan olahan. (*)