Jakarta (ANTARA News) - Perjalanan dari Denpasar menuju Puri Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali, serasa seperti mengikuti rombongan orang dari kalangan pesantren.
Siang itu, Ketua Persaudaraan Hindu Muslim Bali (PHMB) Anak Agung Ngurah Agung hendak menyaksikan persiapan upacara Hindu di Puri Carangsari yang melibatkan umat Muslim.
Selawat badar mengalun berulang-ulang menghiasi perjalanan sekitar 25 km ke arah utara pada Minggu, 13 Desember. Selawat yang biasa didengar di komunitas Nahdlatul Ulama (NU) itu diikuti "rengengan" Anak Agung Ngurah Agung, pemilik mobil.
Selawat atau doa untuk nabi Muhammad Saw itu juga ditingkahi dengan tepukan-tepukan ringan pada paha dari I Wayan Aryadana, rekan Ngurah Agung. Kedua penganut Hindu itu menikmati selawat yang menjadi bagian dari hymne PHMB.
Ngurah Agung yang kemana-mana gemar mengenakan pakaian adat Bali itu begitu bersemangat bercerita mengenai persaudaraan Muslim dengan Hindu, termasuk mengantar ANTARA ke sejumlah lokasi tempat berseminya toleransi tersebut.
"Bagi kami tidak ada gunanya mengedepankan perbedaan. Justru perbedaan itu indah dan kalau semua yang ada di dunia ini sama, tidak akan ada keindahan," kata lelaki pengagum KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur itu.
Meskipun namanya PHMB, namun sebetulnya semangat dari organisasi yang dipimpin Ngurah Agung itu ditujukan untuk semua agama. Hal itu terlihat dari lambang PHMB yang bergambar pura, masjid, gereja dan vihara.
"Nanti persaudaraan ini akan terus kami kembangkan ke semua agama yang ada di Bali. Tujuannya adalah menciptakan Bali dan Indonesia pada umumnya menjadi rukun sehingga NKRI betul-betul tegak," katanya.
Ia ingin jalinan kebersamaan seperti yang ditampilkan Hindu dan Muslim terus meluas. Selama ini, jika umat Islam melakukan kegiatan pengajian atau melaksanakan shalat tarawih dan hari raya, para pecalang (pengamanan adat) yang beragama Hindu ikut menjaga.
"Sebaliknya, teman-teman Muslim ikut menjaga juga jika umat Hindu mengadakan kegiatan keagamaan. Nanti hal itu akan kami perluas ke saudara-saudara yang beragama di luar Hindu dan Islam," katanya.
Ngurah Agung sendiri selama ini menjadi pengayom bagi umat Islam. Tidak sedikit umat Islam yang menghadapi masalah saat hendak mendirikan tempat ibadah, mengadu ke Ngurah Agung.
Menurut Sekretaris PHMB Deni Rahardian Muhammad, kalau sudah mendapat keluhan seperti itu, Ngurah Agung akan turun ke lokasi. Ia memperlajari apakah di lokasi itu, umat Islam betul-betul membutuhkan tempat ibadah.
"Kalau memang betul-betul membutuhkan, Pak Ngurah Agung akan mendekati masyarakat yang menolak. Karena Pak Ngurah tokoh puri, beliau tidak sulit untuk mempengaruhi masyarakat yang menolak itu," katanya.
Namun demikian, katanya, tidak sedikit keinginan mendirikan tempat ibadah itu sebetulnya di luar kebutuhan yang sesungguhnya. Ada yang beberapa meter dari tempatnya sudah ada mushalla, umat di sekitarnya sudah mau mendirikan mushalla baru.
"Itu kan belum menjadi kebutuhan. Mushalla yang lama saja jemaahnya sedikit, kok mau mendirikan yang baru. Hal seperti ini kemudian tersebar ke luar Bali bahwa di Bali sulit mendirikan tempat ibadah. Padahal kita mestinya juga menjaga perasaan saudara-saudara Hindu," kata lelaki yang juga pernah menjadi aktivis di lingkungan NU itu.
Menghadapi kenyataan seperti itu, katanya, Ngurah Agung biasanya akan memberikan pengertian pada umat Islam untuk tidak usah memaksakan diri membangun tempat ibadah yang baru. Mereka diminta untuk memaksimalkan yang sudah ada.
Gigihnya Ngurah Agung membela umat Islam itu sebetulnya juga menjadi semacam kritik bagi umat dan tokoh Islam di tempat yang mayoritas penduduknya Muslim seperti Jawa atau d tempat lain. Apakah tokoh Muslim mampu dan mau membela kepentingan warga agama minoritas jika umat minoritas itu menghadapi masalah saat hendak mendirikan tempat ibadah?
Jawabannya kembali pada konsep dasar yang seharusnya, yakni Islam memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi pemeluk agama lain karena Islam itu adalah rahmat bagi seluruh alam.
Ngurah Agung terus melakukan silaturahmi dengan kalangan Muslim termasuk dengan mengadakan "open house" di Puri Gerenceng-Pemecutan, khusus pada hari-hari besar Hindu maupun Islam.
Seperti yang terjadi pada Galungan, 14 Oktober 2009. Pada acara itu, hymne PHMB pertama kali dinyanyikan di hadapan sekitar 1.000 umat Islam Denpasar dan sekitarnya.
Saat itu terlihat Galungan bernuansa Islam. Hari raya umat Hindu untuk memperingati kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (keburukan) itu bertabur selawat dan "assalamu`alaikum".
Ngurah Agung sebagai penglingsir atau pewaris Puri Gerenceng, tidak terhitung berapa kali menyapa tamunya dengan "assalamu`alaikum", salam umat Muslim. Ketika memberi sambutan, ia justru mendahulukan "assalamu`alaikum". "Om swasti astu", salam umat Hindu yang artinya juga mendoakan keselamatan diucapkan setelahnya.
Suasana di puri itu mirip dengan acara Idul Fitri karena yang hadir sekitar 1.000 umat Islam. Mereka adalah anggota PHMB yang tersebar antara lain di Kampung Islam Kepaon dan Kampung Jawa.
Menurut Ngurah Agung, kegiatan tersebut memang bertujuan untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama yang ada di Bali, khususnya di Kota Denpasar.
"Kegiatan semacam ini merupakan wujud kecintaan kami pada bangsa ini yang harus hidup rukun meskipun berbeda keyakinan. Pada hakekatnya kita adalah bersaudara," katanya.
Ia mengemukakan, sebetulnya yang dilakukan dirinya itu hanya mengulang semangat pendahulunya dari Kerajaan Pemecutan yang telah menjalin persaudaraan dengan umat Muslim, yang antara lain tersebar di Kepaon, Kampung Jawa (Wanasari) dan sejumlah kampung Muslim lainnya.
"Leluhur kami dulu sudah sering mengadakan pertemuan semacam ini, namun beberapa waktu kemudian sempat putus dan kami sekarang menyambung kembali. Kami kembalikan salah satu fungsi puri untuk menyambung tali persaudaraan dengan masyarakat," katanya.
Tidak ada acara istimewa dalam kegiatan tersebut, melainkan hanya berkumpul dan kemudian makan bersama. Agar umat Muslim nyaman saat makan, pihak Puri Gerenceng mengundang petugas masak Muslim dari Madura.
"Sehingga teman-teman Muslim tidak perlu ragu dengan makanan di sini. Semuanya halal karena kami harus menghormati keyakinan teman-teman Muslim soal makanan ini," ujar Ngurah Agung.
Setelah acara selesai, doa bukan disampaikan secara Hindu. Doa dilantunkan secara Islam yang dipimpin Ustd Hasan Nawawi dari kampung Jawa.
Beberapa warga asal Kampung Jawa mengatakan, sejak kecil mereka sudah akrab dengan lingkungan puri tersebut. Mereka bersyukur bahwa penerus puri masih terus melestarikan hubungan baik itu dengan warga Muslim.
Sementara Wali Kota Denpasar IB Rai Mantra yang hadir di acara itu mengatakan, kegiatan seperti ini merupakan wujud dari kerukunan umat beragama yang harus didukung. Ia menilai langkah yang dilakukan oleh tokoh Puri Gerenceng-Pemecutan ini untuk membangun kebersamaan sangat bagus.
"Kegiatan yang menyambung kerukunan semacam ini sangat bagus," kata Rai Mantra.
Ia mengibaratkan kerukunan dalam perbedaan itu dengan musik yang justru indah ketika dimainkan dengan beragam alat. Musik memiliki falsafah yang dalam mengenai kehidupan yang sejati. Lewat musik sebetulnya manusia bisa belajar bahwa perbedaan yang dikelola dengan baik akan menjadi sesuatu yang indah.
"Dengan musik yang terdiri dari berbagai macam alat itu, orang bisa terhibur, terharu, dan bahkan menangis. Itu kan luar biasa," katanya.(bersambung)
Harmoni Hindu-Islam Dalam Belanga Toleransi (3)
28 Desember 2009 11:36 WIB
Beberapa Umat Hindu menjunjung sesajen saat persembahyangan Hari Raya Galungan di Pura Desa Gede, Desa Peliatan, Ubud, Bali, Rabu (14/10). (ANTARA/Nyoman Budhiana)
Pewarta: Masuki M. Astro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009
Tags: