Jakarta (ANTARA News) - Pura Dalem Jawa di kompleks Puri Bunutan, Desa Bubutin, Kabupaten Bangli, Bali, itu lebih dikenal dengan sebutan Pura Langgar.Dari namanya, tempat peribadatan ini menggambarkan adanya hubungan sangat khusus antara Hindu, yang diwakili oleh pura, dan Islam. yang disimbolkan oleh langgar.

Pura adalah tempat umat Hindu menggelar sembahyang, sedangkan langgar tempat umat Islam melakukan shalat atau mengaji. Langgar adalah masjid kecil yang tidak digunakan untuk shalat Jumat.

Pura Langgar menjadi jejak bagaimana antara Hindu dan Islam di Bali tidak memiliki jarak.

Sepintas, pura seluas sekitar satu hektare yang dikelilingi kolam itu tidak berbeda dengan pura di Bali. Namun, kalau diamati lebih teliti, di pura itu terdapat bangunan bersegi empat, yang berada di tempat utama atau tertinggi di pura tersebut, yang disebut "utamaning mandala".

Ciri khas lainnya, bangunan itu berundak dua, berpintu empat, serta atapnya bertingkat dua. Konon, dua tingkat atap dan dua undak itu melambangkan syariat dan tarekat dalam Islam. Syariat adalah hukum yang mengatur tata kehidupan dan peribadatan umat, sedangkan tarekat adalah jalan menuju Tuhan.

Meskipun bernama langgar, namun tempat suci itu tidak digunakan umat Islam untuk shalat atau kegiatan keislaman lainnya. Langgar itu tetap digunakan umat Hindu yang melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur.

Hanya saja, di dalam pura itu tetap melekat khasanah keislaman yang masih ikut dijaga oleh umat Hindu yang menggunakannya, misalnya saat upacara, salah satu isi sesajen atau banten tidak diperkenankan menggunakan daging babi.

Daging babi, yang terbiasa dimakan warga Hindu tapi haram bagi Muslim, pada kegiatan itu diganti dengan daging itik atau ayam.

Selain itu, umat Hindu di pura itu juga mengenal kurban. Kalau di Islam, kurban disembelih saat Hari Raya Idul Adha, di Pura Langgar upacara kurban itu dilaksanakan sekitar Februari atau sebelum hari raya Nyepi.

Dalam perkembangannya, pura unik yang mungkin satu-satunya di dunia itu banyak diziarahi umat Islam dari luar Pulau Bali. Mereka berasal dari Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, termasuk Madura.

"Di luar bulan puasa, setiap hari bisa 10 bus, tapi kalau puasa sepi. Setelah Idul Fitri ramai kembali," kata Agung Wiadnyana, penjaga pura.

Ia mengemukakan, saat berziarah, Muslim itu banyak yang ingin shalat di lokasi tersebut. Mereka shalat di sebuah bangunan khusus sebelah kiri langgar.

"Kami menyediakan tempat untuk shalat saudara yang Muslim di dalam pura ini. Itu merupakan penghormatan kami terhadap umat Muslim yang jauh-jauh datang dari luar Bali. Di dalam pura itu, kami juga menyediakan tempat untuk wudlu," katanya.

Menurut dia, banyak warga Muslim yang datang ke pura tersebut menuturkan bahwa mereka mendapatkan cerita dari leluhurnya bahwa ada pura yang menunjukkan adanya toleransi umat beragama di daerah itu.

"Pernah ada juga tamu dari Madura yang datang ke pura ini mengatakan, ia diberi tahu oleh kakeknya yang sudah berusia di atas 100 tahun. Dia bercerita bahwa kakeknya berpesan, kalau ke Bali, dia harus mengunjungi Pura Langgar," kata Agung.

Beberapa umat Islam yang berkunjung ke lokasi itu memberikan sumbangan, yang antara lain digunakan untuk pembangunan sarana shalat untuk umat Islam.

Sementara itu, pewaris Puri Bunutin Ida I Dewa Oka Widyarshana mengatakan, keberadaan pura itu merupakan aset nasional untuk menggugah kerukunan umat beragama.

"Pura ini adalah tempat yang memberi pencerahan mengenai toleransi umat beragama yang lahir secara murni. Kalau sekarang orang bicara toleransi, mungkin karena memang menjadi keharusan dalam kerangka NKRI Tapi di sini memang murni," katanya.

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana itu mengakui kemungkinan ada umat Hindu dan mungkin umat Islam yang tidak setuju dengan keberadaan langgar di pura itu.

"Namun kami tidak menganggap beban. Kami menganggap itu sebagai berkah karena pura ini telah menjadi simbol perdamaian. Ini realitas yang tidak bisa dipungkiri," katanya.

Menurut dia, keberadaan Pura Langgar itu menunjukkan, ketika pura itu dibangun berarti sudah ada komunikasi yang dekat antara tokoh Islam dan tokoh Hindu. Hal itu dibuktikan dengan bentuk bangunan seperti langgar yang memang mengandung nilai-nilai tertentu dalam agama Islam.

"Kalau tidak ada komunikasi dengan tokoh Islam, tidak mungkin orang Hindu di Bali, yang ketika itu belum mengenal apa itu Islam, bisa membuat bangunan berbentuk langgar yang memiliki nilai filosofi Islam," katanya.

Karena itu, ia menduga kuat, sudah ada kebesaran jiwa dari tokoh Islam dan Hindu ketika itu sehingga bangunan tersebut bisa terwujud. Tokoh Islam rela langgar diusung ke pura dan tokoh Hindu rela pura diisi langgar.

Menurut dia, bangunan itu menjadi belanga bagi Hindu Muslim menjalin hubungan yang toleran.

Dewa Oka, yang menulis sejarah Kerajaan Bunutin dengan judul "Pangeran Mas Wilis (Wong Agung Wilis) Raja Bunutin", menceritakan, Pura Langgar tidak terlepas dari ikatan sejarah Kerajaan Bunutin dengan Kerajaan Blambangan yang wilayahnya berada di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Saat itu Raja Bunutin, Ida I Dewa Mas Blambangan, yang masih keturunan Raja Blambangan itu jatuh sakit selama sekitar lima tahun.

"Mas Blambangan yang naik tahta pada 1780 sakit sehingga adiknya, Ida I Dewa Mas Bunutin melakukan semadi. Dalam semadinya, Mas Bunutin mendapat perintah dari leluhur kami dari Blambangan yang datang dengan pakaian Muslim agar mendirikan pura yang di dalamnya ada langgar," katanya.

Raja Bunutin dan keluarga yang memang menaruh penghormatan tinggi terhadap leluhur langsung mengikuti perintah itu, meskipun ada beberapa keluarga raja yang tidak setuju.

"Setelah pura itu dibangun, Mas Blambangan betul-betul sembuh dan memiliki keturunan serta kehidupan kerajaan menjadi makmur," katanya.

Ke depan, menurut Dewa Oka, dia berharap keberadaan pura ini mendapat perhatian dari pemerintah. Apalagi, nilai yang bisa dikabarkan dari keberadaan pura ini sangat luhur, yakni toleransi beragama yang begitu menyatu.

"Saya berharap agar pemerintah, baik daerah maupun pusat ikut memelihara keberadaan pura yang di dalamnya terdapat langgar tersebut," katanya.

Ia menuturkan, untuk pemeliharaan pura yang berada sekitar 35 km timur laut dari Kota Denpasar itu hanya mengandalkan swadaya dari puri dan sumbangan para pengunjung. (bersambung)