Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai peringatan Hari Ulang Tahun Ke-75 RI dalam suasana pandemi COVID-19 telah menyadarkan semua pihak bahwa bangsa Indonesia belum terlepas dari berbagai bentuk penjajahan.

"Bukan penjajahan atas nama kolonialisme maupun imperialisme dalam bentuk intervensi militer. Tetapi, penjajahan atas rasa takut terhadap kesehatan, penjajahan atas rasa takut terhadap kebodohan, dan penjajahan atas rasa takut terhadap kemiskinan," kata Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Hal itu dikatakan Bamsoet usai menjadi pembaca Teks Proklamasi dalam Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Indonesia, di Istana Negara, Jakarta, Senin.

Dia menilai Indonesia harus tetap semangat dan yakin bahwa berbagai bentuk penjajahan, seperti kemiskinan dan kebodohan akan bisa diatasi. Karena itu dengan semangat bersama dan gotong royong, masyarakat bisa wujudkan Indonesia maju.

Baca juga: Klub-klub Eropa ucapkan selamat HUT Kemerdekaan RI ke-75
Baca juga: Pelaku wisata di Gunung Kidul gelar upacara HUT RI di Gua Jlamprong
Baca juga: Gubernur BI ungkap nilai filosofi uang khusus HUT ke-75 RI


"Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-75 di tengah pandemi COVID-19 di Istana Merdeka. Walaupun dilakukan sangat sederhana, tanpa jamuan, tanpa gelar pasukan namun tetap berlangsung hikmat," ujarnya.

Bamsoet mengatakan Presiden Pertama RI Soekarno dalam pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika pada 18 April 1955 telah meluruskan bahwa kolonialisme juga memiliki pakaian modern berupa penguasaan ekonomi, intelektual, maupun material.

Menurut dia, bung Karno dalam pidato Hari Pahlawan 10 November 1961 juga telah memperingatkan bahwa perjuangan yang dilakukannya bersama para pendahulu bangsa lebih mudah karena mengusir penjajah namun perjuangan generasi masa depan akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.

"Pendapat tersebut saat ini semakin nyata, hanya segelintir orang saja yang memiliki akses terhadap kekayaan. Laporan Global Wealth Report 2020 dari Boston Consulting Group menempatkan Indonesia di peringkat empat negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi di dunia, setelah Rusia, India, dan Thailand," ujarnya.

Menurut politisi Partai Golkar itu menjelaskan walaupun kekayaan per orang meningkat 6 kali lipat selama periode 2000-2016, namun setengah aset kekayaan di Indonesia dikuasai hanya 1 persen orang terkaya, kesenjangan antara kaya dan miskin mencapai 49 persen.

Baca juga: Seorang pasien patah tulang hadiri upacara HUT RI di Malaka Jaya
Baca juga: Pengendara di Titik Nol Yogyakarta berhenti saat detik proklamasi


Hal itu menurut dia memperlihatkan kekayaan rata-rata penduduk Indonesia masih rendah.

Bamsoet menegaskan bahwa peringatan detik-detik proklamasi tidak sekadar upacara seremonial tanpa makna melainkan menjadi pengingat bahwa saat ini bangsa Indonesia sudah memasuki usia kemerdekaan ke-75 tahun.

"Berbagai hal yang dinikmati dari bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia saat ini tidak lepas dari pengorbanan para pejuang bangsa di masa lalu. Karena itu untuk memastikan Indonesia tetap berdiri tegak di masa depan, generasi terkini perlu melakukan pengorbanan di masa sekarang," katanya.

Dia mengatakan, dua proklamator Indonesia yaitu Bung Karno dan Bung Hatta, juga sudah mencontohkan kebijaksanaan dalam menjaga Indonesia.

Menurut dia, keduanya banyak berbeda pendapat dalam berbagai hal, namun mau berkorban demi kepentingan yang lebih besar, demi kepentingan Indonesia.

"Sebagai contoh, Bung Karno menginginkan bentuk negara kesatuan, sedangkan Bung Hatta menginginkan federal. Ketika akhirnya bangsa Indonesia melalui Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bermusyawarah, kemudian pada 29 Mei 1945 bermufakat menetapkan bentuk negara Indonesia adalah Kesatuan, Bung Hatta alih-alih menolak dan memaksakan pendapat justru bisa menerima dan mendukungnya," katanya.

Bamsoet mengatakan sikap berbesar hati demi kepentingan bangsa itu yang patut ditiru agar bangsa Indonesia tidak terjebak dalam konflik sosial.