KPK: Enam poin strategis perbaiki tata kelola pemerintahan di Jakarta
12 Agustus 2020 21:27 WIB
Suasana rapat KPK dan Pemprov DKI Jakarta mengenai paparan hasil "monitoring" dan evaluasi (monev) Program Koordinasi Pencegahan Korupsi Semester I 2020 di Kantor Gubernur DKI Jakarta, Rabu (12-8-2020). ANTARA/HO-KPK
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merekomendasikan enam poin strategis kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperbaiki tata kelola pemerintahan dalam rapat paparan hasil monitoring dan evaluasi (monev) Program Koordinasi Pencegahan Korupsi Semester I 2020.
Enam poin tersebut disampaikan KPK setelah melihat capaian Program Koordinasi Pencegahan Korupsi KPK di DKI Jakarta yang termuat dalam aplikasi Monitoring Control Prevention (MCP). Skor rata-rata DKI Jakarta selama Semester I 2020 adalah 49 persen.
"Artinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih perlu membenahi aspek-aspek tata kelola pemerintahannya dengan berfokus pada tujuh area intervensi yang menjadi fokus pendampingan perbaikan tata kelola pemerintahan di Jakarta," kata Kepala Satgas Koordinasi Pencegahan Wilayah III KPK Aida Ratna Zulaiha dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Baca juga: KPK catat capaian penerimaan pajak di DKI Jakarta masih rendah
Rapat monev itu diselenggarakan di Kantor Gubernur DKI Jakarta, Rabu. Hadir dalam pertemuan tersebut selain Gubernur DKI Jakarta, yakni Sekretaris Daerah (Sekda), Inspektur, dan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Provinsi DKI Jakarta.
Oleh karena itu, lanjut Aida, KPK merekomendasikan enam poin strategis kepada Pemprov DKI Jakarta, yakni pertama soal integrasi data.
Seluruh data milik Pemprov DKI Jakarta, kata dia, disatukan dalam sebuah Peta Digital Jakarta Satu Terintegrasi, seperti Barang Milik Daerah (BMD), pajak daerah, surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT), dan izin-izin lainnya.
"Data yang terkumpul di instansi pusat terkait (BPN, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Sosial) juga data sosial, kependudukan, kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan lainnya," tuturnya.
Baca juga: Penghapusan sanksi pajak daerah diberikan langsung saat COVID-19
Kedua, soal perluasan tax clearance system.
Aida menjelaskan bahwa implementasi tax clearance system pada semua mata pajak, yaitu pajak pribadi perorangan dan pajak badan usaha, melalui sistem elektronik berbasis nomor induk kependudukan (NIK), nomor objek pajak (NOP), atau lainnya untuk diterapkan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Ketiga, mengenai evaluasi regulasi.
Gubernur DKI Jakarta, kata Aida, perlu mengevaluasi peraturan daerah yang berkaitan dengan keringanan pajak dan penghapusan piutang pajak atau peraturan lainnya yang bertentangan dengan asas keadilan atau tak sesuai dengan regulasi di atasnya.
"Termasuk tumpang-tindih beberapa produk hukum, seperti peraturan daerah, peraturan gubernur, dan surat edaran yang mengatur hal yang sama. Hal ini perlu untuk menghindari kemungkinan fraud atau conflict of interest yang menyertai penerbitan aturan tersebut," ujar Aida.
Baca juga: DKI keluarkan tiga kebijakan insentif pajak dalam masa PSBB
Terkait dengan rencana pemberian keringanan pajak kepada sejumlah wajib pajak dengan alasan pandemi COVID-19, dia mengingatkan dua hal pokok kepada Gubernur DKI Jakarta.
"Pertama, tepat sasaran dan tidak memihak kepentingan tertentu. Kedua, berdasarkan hasil telaah dan disertai bukti-bukti memadai. Bila kenyataannya penuh risiko, sebaiknya Pemprov DKI Jakarta menghindari pemberian keringanan pajak," katanya.
Keempat, realokasi anggaran penanganan COVID-19 terkait dengan pengadaan barang dan jasa (PBJ) dan belanja anggaran.
"Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar tidak merencanakan dan melaksanakan PBJ yang tak terkait dengan penanganan COVID-19, kecuali PBJ yang sesuai dengan Surat Edaran Sekda Provinsi DKI Nomor 46/SE/2020, hingga pandemi COVID-19 dinyatakan selesai," ucap Aida.
Baca juga: REI DKI harapkan keringanan pajak hotel dan restoran
Kelima, penertiban dan pemulihan aset.
Pemprov DKI Jakarta, kata Aida, perlu mempercepat upaya sertifikasi aset, mengadakan rapat koordinasi barang milik daerah, penertiban prasarana, sarana, dan utilitas umum serta penertiban aset yang masih sengketa dan aset yang tumpang-tindih.
Keenam, optimalisasi pendapatan di tengah wabah COVID-19.
Menurut dia, Pemprov DKI Jakarta perlu melakukan optimalisasi pajak daerah melalui upaya sosialisasi kepada asosiasi pengusaha, wajib pajak, notaris, PPAT, dan stakeholders terkait lainnya.
"Selain itu, menagih piutang pajak dan pemeriksaan pajak bekerja sama dengan kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau pihak terkait lainnya," kata Aida.
Diketahui bahwa ada tujuh area intervensi yang menjadi fokus dalam Program Koordinasi Pencegahan Korupsi KPK di Provinsi DKI Jakarta, yakni perencanaan dan penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pengadaan barang dan jasa, pelayanan terpadu satu pintu (PTSP).
Berikutnya, manajemen aparatur sipil negara (ASN), penguatan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP), optimalisasi penerimaan daerah, dan manajemen aset daerah.
Enam poin tersebut disampaikan KPK setelah melihat capaian Program Koordinasi Pencegahan Korupsi KPK di DKI Jakarta yang termuat dalam aplikasi Monitoring Control Prevention (MCP). Skor rata-rata DKI Jakarta selama Semester I 2020 adalah 49 persen.
"Artinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih perlu membenahi aspek-aspek tata kelola pemerintahannya dengan berfokus pada tujuh area intervensi yang menjadi fokus pendampingan perbaikan tata kelola pemerintahan di Jakarta," kata Kepala Satgas Koordinasi Pencegahan Wilayah III KPK Aida Ratna Zulaiha dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Baca juga: KPK catat capaian penerimaan pajak di DKI Jakarta masih rendah
Rapat monev itu diselenggarakan di Kantor Gubernur DKI Jakarta, Rabu. Hadir dalam pertemuan tersebut selain Gubernur DKI Jakarta, yakni Sekretaris Daerah (Sekda), Inspektur, dan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) Provinsi DKI Jakarta.
Oleh karena itu, lanjut Aida, KPK merekomendasikan enam poin strategis kepada Pemprov DKI Jakarta, yakni pertama soal integrasi data.
Seluruh data milik Pemprov DKI Jakarta, kata dia, disatukan dalam sebuah Peta Digital Jakarta Satu Terintegrasi, seperti Barang Milik Daerah (BMD), pajak daerah, surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT), dan izin-izin lainnya.
"Data yang terkumpul di instansi pusat terkait (BPN, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Sosial) juga data sosial, kependudukan, kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan lainnya," tuturnya.
Baca juga: Penghapusan sanksi pajak daerah diberikan langsung saat COVID-19
Kedua, soal perluasan tax clearance system.
Aida menjelaskan bahwa implementasi tax clearance system pada semua mata pajak, yaitu pajak pribadi perorangan dan pajak badan usaha, melalui sistem elektronik berbasis nomor induk kependudukan (NIK), nomor objek pajak (NOP), atau lainnya untuk diterapkan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP).
Ketiga, mengenai evaluasi regulasi.
Gubernur DKI Jakarta, kata Aida, perlu mengevaluasi peraturan daerah yang berkaitan dengan keringanan pajak dan penghapusan piutang pajak atau peraturan lainnya yang bertentangan dengan asas keadilan atau tak sesuai dengan regulasi di atasnya.
"Termasuk tumpang-tindih beberapa produk hukum, seperti peraturan daerah, peraturan gubernur, dan surat edaran yang mengatur hal yang sama. Hal ini perlu untuk menghindari kemungkinan fraud atau conflict of interest yang menyertai penerbitan aturan tersebut," ujar Aida.
Baca juga: DKI keluarkan tiga kebijakan insentif pajak dalam masa PSBB
Terkait dengan rencana pemberian keringanan pajak kepada sejumlah wajib pajak dengan alasan pandemi COVID-19, dia mengingatkan dua hal pokok kepada Gubernur DKI Jakarta.
"Pertama, tepat sasaran dan tidak memihak kepentingan tertentu. Kedua, berdasarkan hasil telaah dan disertai bukti-bukti memadai. Bila kenyataannya penuh risiko, sebaiknya Pemprov DKI Jakarta menghindari pemberian keringanan pajak," katanya.
Keempat, realokasi anggaran penanganan COVID-19 terkait dengan pengadaan barang dan jasa (PBJ) dan belanja anggaran.
"Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar tidak merencanakan dan melaksanakan PBJ yang tak terkait dengan penanganan COVID-19, kecuali PBJ yang sesuai dengan Surat Edaran Sekda Provinsi DKI Nomor 46/SE/2020, hingga pandemi COVID-19 dinyatakan selesai," ucap Aida.
Baca juga: REI DKI harapkan keringanan pajak hotel dan restoran
Kelima, penertiban dan pemulihan aset.
Pemprov DKI Jakarta, kata Aida, perlu mempercepat upaya sertifikasi aset, mengadakan rapat koordinasi barang milik daerah, penertiban prasarana, sarana, dan utilitas umum serta penertiban aset yang masih sengketa dan aset yang tumpang-tindih.
Keenam, optimalisasi pendapatan di tengah wabah COVID-19.
Menurut dia, Pemprov DKI Jakarta perlu melakukan optimalisasi pajak daerah melalui upaya sosialisasi kepada asosiasi pengusaha, wajib pajak, notaris, PPAT, dan stakeholders terkait lainnya.
"Selain itu, menagih piutang pajak dan pemeriksaan pajak bekerja sama dengan kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau pihak terkait lainnya," kata Aida.
Diketahui bahwa ada tujuh area intervensi yang menjadi fokus dalam Program Koordinasi Pencegahan Korupsi KPK di Provinsi DKI Jakarta, yakni perencanaan dan penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pengadaan barang dan jasa, pelayanan terpadu satu pintu (PTSP).
Berikutnya, manajemen aparatur sipil negara (ASN), penguatan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP), optimalisasi penerimaan daerah, dan manajemen aset daerah.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: