Penajam (ANTARA) - Anggota DPR RI Dapil Provinsi Kalimantan Timur Hetifah Sjaifudian prihatin atas tingginya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di daerah tersebut yang mencapai 262 kasus dalam waktu kurang dari 8 bulan sejak Januari hingga 11 Agustus 2020.

"Ini sudah darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak bagi Kaltim, maka peran semua elemen masyarakat sangat penting untuk mengatasinya, apalagi angka 262 kasus ini merupakan yang tertinggi di Pulau Kalimantan," ujar Hetifah dihubungi dari Penajam, Rabu.

Data tersebut ia peroleh dari aplikasi SIMFONI (Sistem Informasi Pencatatan dan Pelaporan Kasus Kekerasan), yakni aplikasi yang merupakan rintisan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) untuk mempermudah pelaporan.

Baca juga: Kasus kekerasan seksual fenomena gunung es, sebut KPPPA

Dalam data juga dijelaskan bahwa dari 173 kasus kekerasan yang terjadi pada anak usia 0-17 tahun, terdapat 60 persen di antaranya terjadi di usia remaja pada usia 13-17 tahun.

Hal yang lebih mengenaskan, lanjut dia, jumlah kasus maupun jumlah korban tertinggi tidak berasal dari lingkungan asing, namun justru terjadi di lingkungan rumah tangga.

Dalam beberapa tahun terakhir, katanya, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kalimantan Timur (Kaltim) tidak pernah kurang dari seratus kasus, sehingga ia mengaku amat prihatin karena dalam delapan bulan ini jumlahnya sangat tinggi dan berasal dari lingkungan terdekat atau keluarga.

"Sebagai contoh, ayah tiri di Kabupaten Kutai Timur yang tega berulang kali memperkosa anak tirinya sejak tahun 2018. Untuk pencegahan, kita harus rajin sosialisasi dan membuat metode perlindungan anak lebih efektif agar kasus semacam ini tidak terulang lagi," katanya.

Baca juga: Kekerasan seksual tak hanya sasar perempuan, sebut KPPPA


Hetifah yang juga Wakil Ketua Komisi X DPR ini melanjutkan, isu kekerasan seksual bisa dilihat dari dua faktor, yakni faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal bisa akibat dari kondisi ekonomi, pengaruh media sosial, dan lingkungan. Sedangkan faktor internal muncul akibat kondisi dalam keluarga itu sendiri baik secara psikologis, biologis, maupun secara moral.

Menurutnya, dalam menangani isu ini dibutuhkan upaya holistik baik preventif, represif, beserta sinergi seluruh lapisan masyarakat, sehingga ia optimis isu ini dapat ditanggulangi lebih efektif melalui penekanan terhadap pencegahan yang dilakukan oleh lingkungan terdekat.

"Perlindungan anak merupakan tanggung jawab kemanusiaan seluruh lapisan masyarakat, maka jangan membatasi tanggung jawab perlindungan anak hanya bagi keluarga dan penegak hukum. Kita harus meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa melindungi anak adalah tanggung jawab moral setiap individu,” kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bidang Kesra ini.

Baca juga: KPPPA: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harapan besar masyarakat
Baca juga: Sahroni: Korban kekerasan seksual jangan takut bersuara
Baca juga: KPPPA: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah upaya pembaruan hukum