Kopenhagen (ANTARA News) - Target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor kehutanan Indonesia sebesar 26 persen pada 2020, bukan dari penghentian pembukaan lahan dan hutan (moratorium) tetapi dari pembatasan izin.

"Target penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan belum menghentikan pembukaan lahan tetapi kita berpikir ke arah sana," kata Ketua Tim Perubahan Iklim Departemen Kehutanan, Wandojo Siswanto dalam jumpa pers Delegasi RI di KTT ke-15 Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, Kamis.

Wandojo mengatakan, penurunan emisi dari sektor kehutanan dilakukan dengan pembatasan izin pemanfaatan hutan dan meningkatkan pengawasannya.

"Kita melakukan pengetatan pemberian ijin, sekaligus melakukan pengawasan. Pengetatan izin dilakukan dengan verifikasi ijin, apakah perusahaan akan melakukannya dengan baik," katanya.

Pengawasan juga dilakukan kepada pemilik ijin HPH yang bekerjasama dengan pemerintah daerah.

Selain itu, Departeman kehutanan juga akan melakukan perbaikan peraturan untuk menata sektor kehutanan dan menyelesaikan tata ruang seperti di pulau Kalimantan.

Selesaikan masalah
Sebelumnya, Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim (CSF) mendesak pemerintah Indonesia agar menyelesaikan semua permasalahan pada sektor kehutanan sebelum "menjual" REDD di KTT ke-15 Perubahan Iklim (COP) dari UNFCCC di Kopenhagen, Denmark.

"Indonesia harusnya menyelesaikan dulu tunggakan persoalan-persoalan kehutanan sebelum ngomong soal REDD di Kopenhagen," kata Anggota CSF, Siti Maemunah kepada ANTARA News di Kopenhagen, Denmark, Sabtu.

Tunggakan persoalan kehutanan yang dimaksud Siti Maemunah yang lebih akrab dipanggil Mai adalah masalah tumpang tindih HTI dan HPH; masalah konflik penguasaan lahan antara masyarakat dengan pemegang HTI/HPH dan perusahaan besar; pembalakan liar dan sebagainya.

"Emisi karbon dari sektor kehutanan sangat besar, dan tidak bisa diselesaikan dengan REDD. Jadi syarat pelaksanaan REDD adalah penyelesaian tunggakan permasalahan kehutanan," kata Mai yang juga Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) merupakan skema pengurangan emisi karbon dari pencegahan penggundulan dan perusakan hutan.

Sedangkan Anggota CSF lainnya, M. Teguh Surya yang juga Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI mengatakan agar hutan Indonesia jangan dijadikan ajang tukar guling kewajiban emisi karbon (offset) dari negara industri (Annex-1 Protokol Kyoto) kepada negara berkembang pemilik hutan.

Teguh mengatakan apabila Indonesia memang ingin menurunkan emisi karbon sebsar 26 persen pada 2020, maka dilakukan dengan perubahan pembangunan yang lebih ramah lingkungan serta penyelesaian permasalahan lingkungan hidup seperti di sektor kehutanan.

"Jangan sampai penurunan emisi karbon justru dengan cara menjual REDD dan `offset` hutan Indonesia kepada negara industri," katanya.

CSF mengemukakan permasalahan kehutanan Indonesia antara lain tingkat perusakan hutan dengan konversi hutan alam menjadi HTI/HPH dan industri pulp yang tinggi, dimana sampai 2008 telah mencapai 19,8 juta hektar mengubah hutan alam dan 27,71 juta hektar hutan untuk industri pulp dan kertas.

Indonesia memiliki 22,5 juta hektar hutan gambut yang merupakan 12 persen dari total hutan gambut di Asia Tenggara.Empat belas 14 persennya telah diubah menjadi kebun sawit, 10 persen untuk tanaman kayu dan 12 persen untuk konsesi kayu tebang.

Selama 2008, lebih dari 500 kasus konflik terjadi yang berhubungan dengan kebun sawit, dan sejak 1998, Indonesia telah kehilangan 126 spesies karena hilangnya habitat spesies tersebut untuk kebun sawit.

Sementara data dari draft "Second National Communication Indonesia", sebuah dokumen tentang emisi GRK yang dikeluarkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan jumlah emisi CO2 dari alih guna lahan dan kehutanan tercatat sebesar 649 juta ton CO2 dan dari pertanian serta lahan gambut sebesar 247 juta ton.

Sehingga emisi dari sektor Alih Guna Lahan dan Kehutanan (Land-Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) mencapai 64 persen dari total emisi Indonesia pada tahun 2000. (*)