Kasus kekerasan seksual fenomena gunung es, sebut KPPPA
11 Agustus 2020 20:05 WIB
Pelaksana Harian Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Ratna Susianawati saat diwawancarai wartawan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Selasa (9/4/2019). (FOTO ANTARA/Dewanto Samodro)
Jakarta (ANTARA) - Pelaksana Harian Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Ratna Susianawati mengatakan kasus kekerasan seksual yang mengemuka di media adalah fenomena gunung es.
"Kekerasan seksual adalah fenomena gunung es. Banyak yang terjadi tetapi tidak berani melapor. Banyak kasus yang mungkin lebih besar tetapi tertutup," katanya saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Selasa.
Begitu juga, kata dia, seperti halnya kasus kekerasan seksual "fetish" jarik yang sempat viral di media sosial selama beberapa waktu.
Kasus tersebut mencuat setelah ada salah satu korban yang berani mengungkap melalui media sosial dan diduga terdapat beberapa korban lain yang memilih untuk tidak bersuara.
Ratna mengatakan kasus "fetish" jarik tersebut merupakan penyimpangan seksual. Kasus-kasus kekerasan seksual yang di luar nalar umum juga harus diantisipasi untuk melindungi masyarakat, tidak hanya perempuan karena faktanya laki-laki pun bisa menjadi sasaran kekerasan seksual.
"Kasus ini semakin mendorong Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan untuk menjadi payung hukum dalam penanganan kekerasan seksual dari hulu hingga hilir meliputi pencegahan, penanganan, pemulihan korban, dan penegakan hukum yang bisa menimbulkan efek jera," katanya.
Dari sisi pencegahan, Ratna menilai ketahanan keluarga memiliki peran penting dalam mencegah seseorang untuk menjadi pelaku kekerasan seksual.
Dalam kasus "fetish" jarik yang viral, kata dia, pelaku mengaku sebagai mahasiswa perguruan tinggi di Jawa Timur yang sedang melakukan penelitian. Bila pengakuan itu benar, berarti pelaku adalah seseorang yang berpendidikan tinggi.
"Keluarganya mungkin juga tidak tahu pelaku seperti itu. Mungkin di rumah bersikap baik-baik saja, tetapi di luar rumah berperilaku menyimpang," katanya.
Ia mengatakan kasus "fetish" jarik itu juga semakin membuka mata publik bahwa predator seksual tidak hanya menyasar anak-anak di internet. Orang dewasa pun bisa menjadi sasaran kekerasan seksual berbasis digital.
Menurut dia hal itu menunjukkan literasi digital perlu dipahami, tidak hanya diajarkan pada anak-anak tetapi juga orang dewasa agar tidak mudah memenuhi permintaan orang yang baru atau hanya dikenal di dunia maya.
"Penggunaan teknologi membuat kejahatan juga menjadi tanpa batas, bisa terjadi antarnegara. Apalagi di masa pandemi COVID-19, semua orang semakin banyak menggunakan internet," demikian Ratna Susianawati .
Baca juga: Kekerasan seksual tak hanya sasar perempuan, sebut KPPPA
Baca juga: LBH beri bantuan hukum anak perempuan korban kekerasan seksual
Baca juga: LPSK lindungi 440 korban kekerasan seksual, dalam 6 tahun terakhir
"Kekerasan seksual adalah fenomena gunung es. Banyak yang terjadi tetapi tidak berani melapor. Banyak kasus yang mungkin lebih besar tetapi tertutup," katanya saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Selasa.
Begitu juga, kata dia, seperti halnya kasus kekerasan seksual "fetish" jarik yang sempat viral di media sosial selama beberapa waktu.
Kasus tersebut mencuat setelah ada salah satu korban yang berani mengungkap melalui media sosial dan diduga terdapat beberapa korban lain yang memilih untuk tidak bersuara.
Ratna mengatakan kasus "fetish" jarik tersebut merupakan penyimpangan seksual. Kasus-kasus kekerasan seksual yang di luar nalar umum juga harus diantisipasi untuk melindungi masyarakat, tidak hanya perempuan karena faktanya laki-laki pun bisa menjadi sasaran kekerasan seksual.
"Kasus ini semakin mendorong Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan untuk menjadi payung hukum dalam penanganan kekerasan seksual dari hulu hingga hilir meliputi pencegahan, penanganan, pemulihan korban, dan penegakan hukum yang bisa menimbulkan efek jera," katanya.
Dari sisi pencegahan, Ratna menilai ketahanan keluarga memiliki peran penting dalam mencegah seseorang untuk menjadi pelaku kekerasan seksual.
Dalam kasus "fetish" jarik yang viral, kata dia, pelaku mengaku sebagai mahasiswa perguruan tinggi di Jawa Timur yang sedang melakukan penelitian. Bila pengakuan itu benar, berarti pelaku adalah seseorang yang berpendidikan tinggi.
"Keluarganya mungkin juga tidak tahu pelaku seperti itu. Mungkin di rumah bersikap baik-baik saja, tetapi di luar rumah berperilaku menyimpang," katanya.
Ia mengatakan kasus "fetish" jarik itu juga semakin membuka mata publik bahwa predator seksual tidak hanya menyasar anak-anak di internet. Orang dewasa pun bisa menjadi sasaran kekerasan seksual berbasis digital.
Menurut dia hal itu menunjukkan literasi digital perlu dipahami, tidak hanya diajarkan pada anak-anak tetapi juga orang dewasa agar tidak mudah memenuhi permintaan orang yang baru atau hanya dikenal di dunia maya.
"Penggunaan teknologi membuat kejahatan juga menjadi tanpa batas, bisa terjadi antarnegara. Apalagi di masa pandemi COVID-19, semua orang semakin banyak menggunakan internet," demikian Ratna Susianawati .
Baca juga: Kekerasan seksual tak hanya sasar perempuan, sebut KPPPA
Baca juga: LBH beri bantuan hukum anak perempuan korban kekerasan seksual
Baca juga: LPSK lindungi 440 korban kekerasan seksual, dalam 6 tahun terakhir
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020
Tags: