Nawawi nilai Jaksa Agung keluarkan pedoman timbulkan kecurigaan publik
11 Agustus 2020 18:08 WIB
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengikuti upacara pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay/wsj)
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menilai dikeluarkannya Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin menimbulkan kecurigaan publik di tengah kasus Djoko Tjandra dan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Mengeluarkan produk seperti ini di saat 'pandemi' kasus Djoko Tjandra dan pemeriksaan jaksa Pinangki sudah pasti akan menimbulkan sinisme dan kecurigaan publik," ujar Nawawi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Nawawi juga menilai dikeluarkannya pedoman itu seperti menggerus semangat upaya pemberantasan korupsi.
"Selintas jadi seperti menggerus semangat upaya pemberantasan korupsi. Wajar jika muncul kecurigaan dan sinisme publik terhadap produk-produk semacam itu di tengah ramainya kasus Djoko Tjandra yang ikut menyeret oknum jaksa tersebut," kata Nawawi.
Baca juga: KPK gelar rakor di Gorontalo dorong penyelamatan aset
Diketahui, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sedang menyidik dugaan kasus yang menyeret jaksa Pinangki bersama Anita Kolopaking terkait perjalanan Djoko Tjandra.
Dikutip dari Pedoman Nomor 7 Tahun 2020, Selasa, jaksa perlu diberikan perlindungan dalam menjalankan profesi tanpa mendapat intimidasi, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji kebenarannya.
Pedoman tersebut mengatur pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Selanjutnya, untuk memperoleh izin Jaksa Agung, instansi pemohon harus mengajukan permohonan izin pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang disangka melakukan tindak pidana.
Permohonan itu harus dilengkapi dokumen persyaratan, seperti surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, laporan atau pengaduan, resume penyidikan/laporan perkembangan penyidikan dan berita acara pemeriksaan saksi.
Apabila hasil pemeriksaan dinyatakan tidak lengkap, tidak bersesuaian atau tidak memiliki urgensi untuk dilakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan, maka Asisten Umum Jaksa Agung, Asisten Khusus Jaksa Agung, atau pejabat lainnya yang ditunjuk Jaksa Agung memberikan pertimbangan kepada Jaksa Agung untuk menolak permohonan izin dari instansi pemohon.
Persetujuan atau penolakan permohonan izin Jaksa Agung disampaikan oleh Asisten Umum Jaksa Agung, Asisten Khusus Jaksa Agung, atau pejabat lainnya yang ditunjuk kepada pimpinan instansi penyidik paling lama dua hari kerja sejak persetujuan izin Jaksa Agung diterbitkan.
Namun, pedoman itu tidak diperlukan untuk jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Jika terjadi hal itu, kepala satuan kerja segera berkoordinasi dengan instansi lain terkait untuk mengambil langkah dan memberikan bantuan pendampingan hukum kepada jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
Baca juga: KPK: Hasil survei sebagai cermin terus bekerja berantas korupsi
"Mengeluarkan produk seperti ini di saat 'pandemi' kasus Djoko Tjandra dan pemeriksaan jaksa Pinangki sudah pasti akan menimbulkan sinisme dan kecurigaan publik," ujar Nawawi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Nawawi juga menilai dikeluarkannya pedoman itu seperti menggerus semangat upaya pemberantasan korupsi.
"Selintas jadi seperti menggerus semangat upaya pemberantasan korupsi. Wajar jika muncul kecurigaan dan sinisme publik terhadap produk-produk semacam itu di tengah ramainya kasus Djoko Tjandra yang ikut menyeret oknum jaksa tersebut," kata Nawawi.
Baca juga: KPK gelar rakor di Gorontalo dorong penyelamatan aset
Diketahui, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sedang menyidik dugaan kasus yang menyeret jaksa Pinangki bersama Anita Kolopaking terkait perjalanan Djoko Tjandra.
Dikutip dari Pedoman Nomor 7 Tahun 2020, Selasa, jaksa perlu diberikan perlindungan dalam menjalankan profesi tanpa mendapat intimidasi, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji kebenarannya.
Pedoman tersebut mengatur pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Selanjutnya, untuk memperoleh izin Jaksa Agung, instansi pemohon harus mengajukan permohonan izin pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang disangka melakukan tindak pidana.
Permohonan itu harus dilengkapi dokumen persyaratan, seperti surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, laporan atau pengaduan, resume penyidikan/laporan perkembangan penyidikan dan berita acara pemeriksaan saksi.
Apabila hasil pemeriksaan dinyatakan tidak lengkap, tidak bersesuaian atau tidak memiliki urgensi untuk dilakukan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan, maka Asisten Umum Jaksa Agung, Asisten Khusus Jaksa Agung, atau pejabat lainnya yang ditunjuk Jaksa Agung memberikan pertimbangan kepada Jaksa Agung untuk menolak permohonan izin dari instansi pemohon.
Persetujuan atau penolakan permohonan izin Jaksa Agung disampaikan oleh Asisten Umum Jaksa Agung, Asisten Khusus Jaksa Agung, atau pejabat lainnya yang ditunjuk kepada pimpinan instansi penyidik paling lama dua hari kerja sejak persetujuan izin Jaksa Agung diterbitkan.
Namun, pedoman itu tidak diperlukan untuk jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Jika terjadi hal itu, kepala satuan kerja segera berkoordinasi dengan instansi lain terkait untuk mengambil langkah dan memberikan bantuan pendampingan hukum kepada jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
Baca juga: KPK: Hasil survei sebagai cermin terus bekerja berantas korupsi
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020
Tags: