Wamenag: Tantangan MUI di era Revolusi Industri 4.0 tidak ringan
8 Agustus 2020 19:48 WIB
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi di Gedung Majrlis Ulama Indonesia Pusat, Jakarta, Selasa (21/1/2020). (ANTARA/Anom Prihantoro)
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi mengatakan tantangan Majelis Ulama Indonesia yang memasuki usia ke-45 tidaklah ringan karena berhadapan dengan tantangan Revolusi Industri 4.0 yang penuh disrupsi informasi.
"Perkembangan teknologi informasi yang pesat dan dinamis mengubah rupa kehidupan secara radikal," kata Zainut kepada wartawan di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: PBNU berharap MUI menjadi rumah besar yang menaungi umat
Wakil ketua umum MUI itu mengatakan derasnya informasi dan pertukaran ruang yang cepat di dunia maya membuat manusia yang berinteraksi melalui media sosial lebih sering mengandalkan aspek yang bersifat emosional.
Maka, kata dia, terjadilah fenomena post-truth, yakni ketika situasi obyektif lebih sedikit pengaruhnya dibanding hal-hal yang mempengaruhi emosi dan kepercayaan personal dalam pembentukan opini publik.
"Post-truth ini yang menyuburkan hoaks dan maraknya konten kebencian, termasuk kebencian atas nama agama. Apalagi, masyarakat kita cenderung menyukai judul berita atau informasi yang bersifat provokatif dan adu domba dan malas melakukan verifikasi atau tabayun," katanya.
Pada skala global, kata dia, masyarakat menghadapi isu terkait dengan perang dagang dan semakin menguatnya populisme atau identitas kelompok termasuk terkait keagamaan. Penguatan identitas kelompok tidak hanya terjadi di kalangan Islam tapi juga terjadi pada agama lain di dunia.
Baca juga: Muhammadiyah: Milad MUI agar jadi perekat umat
Baca juga: Papua harapkan kiprah MUI kawal akhlak bangsa
"Penguatan identitas dapat berpotensi menuju eksklusivisme. Jika hal ini dibiarkan tanpa penanganan yang tepat dan jika ekslusivisme tercampur dengan ideologi kebencian, dapat melahirkan penghalalan tindak kekerasan atas nama agama," katanya.
Hoaks dan ujaran kebencian tersebut, kata dia, berpotensi menimbulkan konflik horisontal internal umat beragama maupun antarumat beragama.
"Bagaimanapun, kita di MUI perlu bersyukur karena telah menyadari fenomena ini dan Komisi Fatwa telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial dan pimpinan MUI penting sekali untuk memberikan teladan dalam mempraktikkan fatwa ini," katanya.
Baca juga: Ma'ruf Amin: MUI perlu siapkan fatwa untuk vaksin COVID-19
Maka dari itu, Zainut menekankan pentingnya Muslimin dan MUI untuk terus mempraktikkan Islam moderat karena mampu menjawab tantangan zaman baik dalam skala lokal, nasional maupun global.
"Islam wasathiyah akan mengafirmasi sikap dan praktik keagamaan yang memiliki komitmen kebangsaan, penghormatan terhadap kearifan lokal, toleran dan mengutamakan praktik beragama tanpa kekerasan dan saya meyakini, mempraktikkan Islam wasathiyah dapat mendukung kehidupan beragama yang sehat, harmonis dan rukun, sebagai modal sosial yang dibutuhkan dalam proses pembangunan bangsa," katanya.
"Perkembangan teknologi informasi yang pesat dan dinamis mengubah rupa kehidupan secara radikal," kata Zainut kepada wartawan di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: PBNU berharap MUI menjadi rumah besar yang menaungi umat
Wakil ketua umum MUI itu mengatakan derasnya informasi dan pertukaran ruang yang cepat di dunia maya membuat manusia yang berinteraksi melalui media sosial lebih sering mengandalkan aspek yang bersifat emosional.
Maka, kata dia, terjadilah fenomena post-truth, yakni ketika situasi obyektif lebih sedikit pengaruhnya dibanding hal-hal yang mempengaruhi emosi dan kepercayaan personal dalam pembentukan opini publik.
"Post-truth ini yang menyuburkan hoaks dan maraknya konten kebencian, termasuk kebencian atas nama agama. Apalagi, masyarakat kita cenderung menyukai judul berita atau informasi yang bersifat provokatif dan adu domba dan malas melakukan verifikasi atau tabayun," katanya.
Pada skala global, kata dia, masyarakat menghadapi isu terkait dengan perang dagang dan semakin menguatnya populisme atau identitas kelompok termasuk terkait keagamaan. Penguatan identitas kelompok tidak hanya terjadi di kalangan Islam tapi juga terjadi pada agama lain di dunia.
Baca juga: Muhammadiyah: Milad MUI agar jadi perekat umat
Baca juga: Papua harapkan kiprah MUI kawal akhlak bangsa
"Penguatan identitas dapat berpotensi menuju eksklusivisme. Jika hal ini dibiarkan tanpa penanganan yang tepat dan jika ekslusivisme tercampur dengan ideologi kebencian, dapat melahirkan penghalalan tindak kekerasan atas nama agama," katanya.
Hoaks dan ujaran kebencian tersebut, kata dia, berpotensi menimbulkan konflik horisontal internal umat beragama maupun antarumat beragama.
"Bagaimanapun, kita di MUI perlu bersyukur karena telah menyadari fenomena ini dan Komisi Fatwa telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial dan pimpinan MUI penting sekali untuk memberikan teladan dalam mempraktikkan fatwa ini," katanya.
Baca juga: Ma'ruf Amin: MUI perlu siapkan fatwa untuk vaksin COVID-19
Maka dari itu, Zainut menekankan pentingnya Muslimin dan MUI untuk terus mempraktikkan Islam moderat karena mampu menjawab tantangan zaman baik dalam skala lokal, nasional maupun global.
"Islam wasathiyah akan mengafirmasi sikap dan praktik keagamaan yang memiliki komitmen kebangsaan, penghormatan terhadap kearifan lokal, toleran dan mengutamakan praktik beragama tanpa kekerasan dan saya meyakini, mempraktikkan Islam wasathiyah dapat mendukung kehidupan beragama yang sehat, harmonis dan rukun, sebagai modal sosial yang dibutuhkan dalam proses pembangunan bangsa," katanya.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020
Tags: