Pilpres AS, pejabat lebih khawatir soal logistik ketimbang peretasan
8 Agustus 2020 10:48 WIB
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyapa pendukungnya saat kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat di Greenville, North Carolina, Rabu (17/7/2019). (ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque/pras.)
San Francisco (ANTARA) - Kebalikan dari beberapa tahun lalu, banyak pejabat yang mengawasi teknologi pemilu Amerika Serikat (AS) dan para pakar keamanan di luar pemerintah saat ini kurang merasa khawatir terjadinya peretasan dalam pemilu November dibandingkan dengan terjadinya disinformasi dan masalah logistik seperti kurangnya petugas pemungutan suara dan penurunan pada layanan pos AS.
Meski sistem pemungutan suara yang sarat komputerisasi dapat diretas, dan sebagian tak terdeteksi, makin bertambah negara bagian menjauh dari pemberian suara nirkertas dan makin bertambah vendor mendengar peringatan atas cacat perangkat lunak, para spesialis berpengalaman mengatakan pada konferensi keamanan tahunan Black Hat dan Def Con pekan ini.
"Kami akhirnya tahu bagaimana melaksanakan ini (pemungutan suara lewat internet) dengan baik," profesor Universitas Georgetown Matt Blaze mengatakan dalam pidato kunci pada konferensi itu, yang dilaksanakan secara daring akibat pandemi.
Lagi pula jumlah keputusan hukum yang lengkap dan beragam versi perangkat lunak akan membuat kecurangan yang berdampak nasional jadi tak praktis, kata para pejabat.
Pada Jumat, kepala kontraintelijen AS William Evanina, mengatakan secara terbuka bahwa saat Rusia, China dan Iran mungkin semua beraksi untuk mencampuri pemilu itu, perubahan pemungutan suara yang substansial berada dalam risiko rendah.
Senator AS dari Demokrat wilayah Oregon Ron Wyden yang duduk di komisi intelijen, mengatakan dalam konferensi itu bahwa dia tetap peduli pada buku pemungutan suara elektronik yang dapat terganggu dan pemungutan suara via internet oleh pasukan bersenjata (AS) di luar negeri.
Tapi Blaze dan yang lain mengatakan mereka terutama khawatir bahwa banyak daerah yang tak punya cukup dana untuk petugas harian pemilu untuk mengurusi suara yang masuk karena kondisi pandemi, dengan kemungkinan terjadinya protes dan gangguan, pada saat yang sama mereka merancang untuk jumlah terbanyak kertas suara yang dikirim lewat pos.
Christopher Krebs, direktur Keamanan Siber dan Badan Keamanan Infrastruktur, mengatakan rakyat sebaiknya memilih sedini mungkin dan bersiap menghadapi hasil pemilu yang tertunda.
Setiap penundaan mungkin jadi lahan subur terjadinya misinformasi baik untuk luar maupun dalam negeri, yang lain memperingatkan.
Reuters
Baca juga: Gedung Putih pastikan pilpres AS berlangsung pada 3 November 2020
Baca juga: Tim kampanye Trump habiskan dana lebih dari Rp735 M pada Juni 2020
Baca juga: Partai Demokrat berencana gelar konvensi virtual jelang pilpres
Meski sistem pemungutan suara yang sarat komputerisasi dapat diretas, dan sebagian tak terdeteksi, makin bertambah negara bagian menjauh dari pemberian suara nirkertas dan makin bertambah vendor mendengar peringatan atas cacat perangkat lunak, para spesialis berpengalaman mengatakan pada konferensi keamanan tahunan Black Hat dan Def Con pekan ini.
"Kami akhirnya tahu bagaimana melaksanakan ini (pemungutan suara lewat internet) dengan baik," profesor Universitas Georgetown Matt Blaze mengatakan dalam pidato kunci pada konferensi itu, yang dilaksanakan secara daring akibat pandemi.
Lagi pula jumlah keputusan hukum yang lengkap dan beragam versi perangkat lunak akan membuat kecurangan yang berdampak nasional jadi tak praktis, kata para pejabat.
Pada Jumat, kepala kontraintelijen AS William Evanina, mengatakan secara terbuka bahwa saat Rusia, China dan Iran mungkin semua beraksi untuk mencampuri pemilu itu, perubahan pemungutan suara yang substansial berada dalam risiko rendah.
Senator AS dari Demokrat wilayah Oregon Ron Wyden yang duduk di komisi intelijen, mengatakan dalam konferensi itu bahwa dia tetap peduli pada buku pemungutan suara elektronik yang dapat terganggu dan pemungutan suara via internet oleh pasukan bersenjata (AS) di luar negeri.
Tapi Blaze dan yang lain mengatakan mereka terutama khawatir bahwa banyak daerah yang tak punya cukup dana untuk petugas harian pemilu untuk mengurusi suara yang masuk karena kondisi pandemi, dengan kemungkinan terjadinya protes dan gangguan, pada saat yang sama mereka merancang untuk jumlah terbanyak kertas suara yang dikirim lewat pos.
Christopher Krebs, direktur Keamanan Siber dan Badan Keamanan Infrastruktur, mengatakan rakyat sebaiknya memilih sedini mungkin dan bersiap menghadapi hasil pemilu yang tertunda.
Setiap penundaan mungkin jadi lahan subur terjadinya misinformasi baik untuk luar maupun dalam negeri, yang lain memperingatkan.
Reuters
Baca juga: Gedung Putih pastikan pilpres AS berlangsung pada 3 November 2020
Baca juga: Tim kampanye Trump habiskan dana lebih dari Rp735 M pada Juni 2020
Baca juga: Partai Demokrat berencana gelar konvensi virtual jelang pilpres
Penerjemah: Mulyo Sunyoto
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020
Tags: