Jakarta (ANTARA) - Pemerintah diimbau segera menerbitkan regulasi terkait tata kelola yang sehat bagi pemain "Over The Top" (OTT) dalam berbisnis di Indonesia, seiring derasnya transformasi digital di tengah pandemi saat ini.
OTT adalah pemain atau perusahaan yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator berbasis aplikasi, konten atau jasa digital, seperti Facebook, Twitter, Youtube, Skype, Netflix, Viber dan layanan lainnya.
"Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top/OTT) sudah pernah dibahas bahkan sudah memasuki uji publik pada era Kabinet Kerja. RPM ini sebaiknya ditungaskan karena di tengah pandemi, jasa OTT makin banyak digunakan, namun nyaris tidak memberi keuntungan bagi negara atau bagi perusahaan penyedia jaringan,” kata Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurut Heru, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah tak memiliki kendala dalam menetapkan aturan main bagi para OTT karena dari Kementrian Keuangan sudah menyelesaikan beberapa isu yang menjadi kendala selama ini.
"Kemenkeu telah bergerak maju dengan menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi produk impor digital. Bahkan, Direktur Jenderal Pajak telah menunjuk beberapa perusahaan global yang memenuhi kriteria sebagai pemungut PPN atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia. Masa Kominfo malah belum punya aturan untuk OTT," katanya.
Diingatkannya, jika para OTT terutama pemain asing tak diatur, maka potensi kerugian bagi pelaku usaha lainnya seperti operator telekomunikasi, bahkan negara terus membesar.
Selama ini operator sudah mengeluhkan tentang tidak adanya equal playing field dengan OTT terutama bagi pemain yang sudah menawarkan jasa seperti yang dimiliki operator. “Saya dengar ada juga OTT yang berani memasukkan komponen peering interconnection untuk layanannya dimana itu sudah menunjukkan harusnya ada pembagian hasil dengan operator. Tetapi kenyataan operator tak dapat apa-apa," ungkapnya.
Ditambahkannya, jika kondisi tak transparan dan seimbang dalam berbisnis ini dibiarkan, industri telekomunikasi nasional bisa bangkrut karena tak ada sustainabilitas ke depannya.
"Saat ini, persaingan di pasar operator telekomunikasi sendiri sudah cukup ketat, dengan margin yang tergerus. Pemerintah harus berani berikan insentif berupa regulasi yang menguntungkan semua pihak di era transformasi digital ini. Kalau tidak, operator bertumbangan, yang rugi nanti pemerintah juga," ujar Heru.
Sementara itu, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Mohammad Ridwan Effendi mengakui pemerintah harus memimpin penyusunan tata kelola bisnis OTT karena Presiden sudah mendeklarasikan percepatan transformasi digital belum lama ini.
"Kominfo memang harus menuntaskan RPM OTT itu, tinggal diperbarui dengan kondisi terkini dimana berpegang pada kedaulatan dan keadilan digital," kata Ridwan.
Pemerintah diminta segera terbitkan aturan tata kelola OTT
7 Agustus 2020 17:40 WIB
Ilustrasi teknologi (artificial intelligence) (ANTARA/Shutterstock)
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020
Tags: