Padang (ANTARA News) - Pakar perundang-undangan dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Prof.Dr.Elfindri, berpendapat sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan lebih KPK tidak perlu izin dalam melakukan penyadapan.

"Kalau KPK minta izin lagi ke lembaga lain, penyadapan diyakini akan gagal dilaksanakan," kata Elfindri di Padang, Kamis.

Ia dimintai tanggapannya seputar penolakan KPK terhadap

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal penyadapan yang kini dibahas Depkominfo.

Elfindri mengatakan, kalau masih ada prosedural penyadapan yang dilakukan KPK, sesuai diatur dalam RPP, maka penyadapan bakal tidak berfungsi.

"Bayangkan kalau KPK minta izin menyadap seseorang. Sebelum izin keluar, bisa jadi orang mengubah mengganti alat komunikasi," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, penyadapan mesti menjadi wewenang penuh dari KPK. Sebab, tugas KPK adalah untuk menyelamatkan bangsa.

Ia menyarankan, bila pemerintah ingin membuat RPP tentang Penyadapan, yang diatur mestinya apa yang boleh dan tidak boleh disadap bukan harus minta izin.

Pada Rabu (9/12), pimpinan KPK menolak RPP tentang penyadapan. Mereka menyatakan akan menyurati Menkominfo Tifatul Sembiring.

Sebelumnya, Menkominfo Tifatul Sembiring, mengatakan, pengaturan penyadapan penting karena sekarang ditengarai patut dicurigai antara instansi saling melakukan penyadapan.

"Sekarang yang berwenang melakukan penyadapan ada dua lembaga penegak hukum, yakni KPK dan Polri," katanya.

Sedangkan Kejaksaan punya izin untuk melakukan penyadapan tetapi tak ada alatnya, sementara Badan Intelejen Negara (BIN) mempunyai alat sadap tetapi tak punya hak melakukan penyadapan.

"Inilah yang harus diatur dalam PP, tapi ini semua bukan berkaitan dengan kasus Bibit-Chandra. Tapi sejak 2008 telah dirintis untuk menyusun RPP teknis penyadapan," jelasnya.

Menkominfo membandingkan, di negara lain seperti Australia, Korea, dan Jepang, penyadapan itu di bawah kendali Departemen ICT seperti Depkominfo kalau di Indonesia, untuk menanganinya.

Jadi, hasil sadapan tersebut dilakukan order oleh KPK, BIN, Kejaksaan atau Kepolisian sesuai dengan izin pengadilan.

"Ini bukan sadap karet, tapi menyadap orang yang berbicara. Kalau ada dua orang yang sedang berbicara dan disadap, tentu pelanggaran terhadap HAM," katanya.(*)