Jakarta (ANTARA) - Terbitnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dinilai sebagai jawaban atas suara keadilan di masyarakat.

“Bangga rasanya, kami menerbitkan regulasi yang menenangkan perasaan keadilan masyarakat, setelah berpuluh-puluh tahun kita harus membawa perkara kecil ke pengadilan, perkara yang tidak besar kerugiannya,” ujar Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Umum Sunarta saat menyampaikan pidato kunci di acara Bimtek Virtual Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Kamis.

“Belum lagi ketika korban yang kita wakili kepentingannya, justru tidak ingin memperpanjang kasusnya dan ingin berdamai, namun kita terpaksa harus melanjutkan perkaranya, sebab tidak ada alasan secara yuridis yang dapat dipakai untuk menghentikan perkara,” ujar dia.

Peraturan Kejaksaan yang ditetapkan pada 21 Juli 2020 itu memberikan hak kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghentikan penuntutan terhadap terdakwa dalam kasus-kasus tertentu, apabila pihak-pihak yang terlibat sudah sepakat berdamai.

Baca juga: Tiga Butir Kakao Membawa Minah ke Pengadilan
Baca juga: Menkumham: 3.323 anak Indonesia terlibat tindak pidana
Baca juga: KPAI: utamakan asas restoratif atasi ABH 21-22 Mei


Sunarta mengatakan, saat ini pendekatan keadilan telah bergeser, dilihat dari bagaimana kritikan masyarakat atas berbagai kasus hukum yang menjadi viral.

Misalnya, saat kejaksaan membawa kasus Nenek Minah ke pengadilan karena mencuri tiga biji kakao, ataupun perkara Kakek Samirin di Simalungun yang melakukan pencurian getah karet milik PT Bridgestone dengan berat 1,9 kilogram dengan harga Rp17.000 yang kemudian didakwa dengan UU Perkebunan.

“Begitu banyak kasus-kasus ini menjadi viral, oleh karena bagi masyarakat, hukum tidak lagi guna untuk memroses terdakwa. Penumpukan beban perkara di pengadilan, penjara yang menjadi penuh, serta orang-orang kecil yang seringkali jatuh pada khilaf nafsu, melakukan pidana, yang kadang tidak mereka sadari, kemudian harus mendekam di dalam sel tahanan berbulan-bulan,” papar Sunarta.

Hingga perkara tersebut diputus, kata dia, akan terdapat banyak kerugian, yang apabila dianalisis secara ekonomi, maka kerugian yang timbul itu, bila dibandingkan dengan keuntungan dalam penegakan hukum sangat tidak efisien.

Sunarta menekankan bahwa ketidakefisienan penegakan hukum hanya akan membawa kesengsaraan pada masyarakat.

Lebih lanjut, Sunarta menceritakan bahwa lahirnya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 salah satunya didasari oleh berbagai kritikan masyarakat tentang penanganan perkara terhadap rakyat kecil, seperti kasus Nenek Minah dan Kakek Samirin.

Kritikan itu, kata dia, membuat Jaksa Agung merasa bahwa sudah saatnya bagi JPU untuk menangkap suara keadilan di masyarakat dan menerapkan penghentian penuntutan terhadap perkara-perkara yang tidak layak di bawa ke pengadilan.

“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya,” ucap Sunarta.

Dia meyakini Undang-Undang Kejaksaan melandasi jaksa untuk menggali nilai keadilan di masyarakat. Di situlah, ucap dia, kewenangan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif lahir.

Kendati akan ada konsekuensi perlawanan yuridisnya, namun Sunarta yakin Peraturan Kejaksaan tersebut dibangun dengan bangunan kognisi dan konstruksi logika.

“Karena hukum acara pidana kita tidak mengenal mediasi penal. Karena hukum pidana materiil dan formil kita masih berorientasi pada pembalasan terhadap perbuatan pidananya saja dan belum bergeser kepada perbuatan dan pelaku tindak pidana, apalagi terhadap paradigma kepentingan korban,” ucap Sunarta.

“Filosofi keadilannya masih membalas daripada memulihkan. Oleh karena itu kami harus membangun 'construction logic'-nya dengan membuat penyesuaian pada hukum yang masih berlaku," sambung dia.

Dalam Pasal 3 Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 disebutkan bahwa penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum.

Penutupan perkara demi kepentingan hukum tersebut dilakukan ketika terdakwa meninggal dunia, kedaluwarsa penuntutan pidana, telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama.

Hal lain yang dapat menjadi alasan penutupan perkara yaitu pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali serta telah adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Pasal 4 dalam beleid tersebut dilakukan dengan memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, respon dan keharmonisan masyarakat, serta kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Adapun syarat tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif diatur dalam Pasal 5.

Pada ayat 1 pasal tersebut di antaranya menyebutkan bahwa syarat penutupan tindak pidana meliputi tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2,5 juta.