Jayapura (ANTARA) - Aktivis di Kota Jayapura, menilai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2017 tentang percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat itu belum mendefinisikan masalah anak dari konteks lokal, terutama lebih pada sistem perlindungan anak dan data terkait anak.
Amoye Pekey, salah satu aktivis tapi juga pekerja sosial yang menangani anak jalanan di Kota Jayapura kepada ANTARA di Jayapura, Kamis, mengatakan Inpres itu sangat baik namun belum efektif mendefinisikan masalah anak khusus di Papua. Lantaran khusus untuk sistem perlindungan anak sebenarnya lebih pada upaya pencegahan dan promosi terkait pemenuhan hak-hak anak.
"Hak anak ini menyangkut hak hidup, hak tumbuh kembang anak, hak partisipatif anak. Dalam upaya itu ada upaya pencegahan dan promosi, yang menjadi hambatan sekarang sistem perlindungan anak," katanya.
Dia mengungkapkan bahwa sistem perlindungan anak itu mulai dari bagaimana pengawasan orang tua, kemudian lepas dari pengawasan orang tua itu berarti ada di bawah pengawasan pemerintah.
"Kemudian yang paling tinggi di atas itu adalah Negara, lebih banyak memberikan proteksi-proteksi terhadap kebijakan-kebijakan peraturan-peraturan pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak," ujarnya.
Baca juga: Bappenas terapkan enam langkah percepatan pembangunan Papua
Kini, katanya, lebih banyak yang bisa lepas dari pengawasan itu bisa dari tiga dimensi tadi, pertama dari tata sistem pemerintahan pelayanannya belum disediakan baik sehingga berpengaruh pada tatanan berikut di tingkatan pemberi layanan itu sendiri semisal dinas terkait, payung hukumnya tidak ada, sehingga programnya bias.
Kemudian, lanjutnya, pada tingkatan tertentu langsung terproses kepada sistem perlindungan primer, itu perlindungan keluarga. Mengapa disebut primer karena proses identifikasi, proses pembentukan nilai-nilai terhadap diri anak, penanaman nilai, di situ terjadi.
"Jadi, kalau dia retak, sering menimbulkan permasalahan bagi anak itu sendiri, proses ini yang membuat anak tersebut tidak mampu beradabtasi terhadap sistem lingkungan yang lebih besar. Jadi, begitu lepas dari sistem itu, dia terlepas bebas dan perubahan-perubahan sosial yang datang mengganggu anak itu, kemampuan anak itu tidak mampu bertahan karena dia lepas kendali, anak akan mengalami masalah," katanya.
Dari sisi masalah, menurut dia, bisa dilihat anak itu bisa putus sekolah, anak itu bisa terlantar, anak itu bisa mengalami kekerasan seksual, eksploitasi baik eksploitasi ekonomi maupun pekerja seks, mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu yang menggunakan anak itu sebagai pekerja.
Amoye menyebut, sekarang yang menjadi masalah, pemerintah daerah belum mengimbangi sistem layanan dengan persediaan anak-anak yang mengalami masalah sosial anak.
Baca juga: Tujuh aspek kebijakan percepatan pembangunan Papua disiapkan Bappenas
Pemerintah daerah belum memiliki data untuk menampung anak-anak itu, pengklasteran anak, mana yang mengalami kekerasan berapa anak, sehingga intervensi pelayanan itu bisa langsung tersentuh ke anak.
Bagi dia, kalau selama ini Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 belum efektif karena belum bisa mendefinisikan masalah anak dari konteks lokalnya.
"Bagimana mau mendefinisikan anak dari konteks lokal kalau kita belum mempunyai data masalah anak itu seperti apa, sehingga konteks definisi eksploitasi anak yang ada di Papua dengan yang pada umumnya di luar, pasti akan berbeda konsepsinya," ujarnya.
"Pendefenisian anak itu harus dikontekstualisasi dengan konteks lokal. Sekarang itu belum ada, itu masalah, jadi kita mau tangani, kita lihat masalah anak seperti ini, kita sudah tau masalahnya apa, itu kan berhubungan informasi data yang kita dapati, datanya belum ada," katanya lagi.
Amoye mengatakan data-data dari lembaga-lembaga bersangkutan yang menangani masalah anak, tidak terintegrasi dengan baik, misalnya BNPB punya masalah narkoba, tidak terhubung dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, bagaimana mau melakukan pelayanan yang tuntas.
Pelayanan-pelayanan terhadap anak tidak terkoordinasi, tetapi masalahnya didata, data yang mengklasterkan masalah-masalah anak, mana yang kekerasan bisa fisik maupun psikis, mana yang eksploitasi bisa seksual maupun ekonomi dan mana yang terlantar, belum ada.
Ia menambahkan, belum ada penyediaan pelayanan, harusnya ada sistem yang menyediakan pelayanan bagi anak-anak itu.Selain itu, belum ada peraturan daerah (Perda) terkait perlindungan anak di Papua, entah dari Bupati atau Wali Kota tentang perlindungan anak.
"Kalau Inpres berarti minimal ada peraturan Bupati/Wali Kota di kabupaten/kota tentang perlindungan anak," katanya.
Baca juga: Tujuh daerah di Papua Barat fokus percepatan pembangunan
Aktivis: Inpres No.9 Tahun 2017 belum definisikan masalah anak
6 Agustus 2020 12:10 WIB
Anak SD di Kabupaten Pegunungan Arfak (Antara/Toyiban)
Pewarta: Musa Abubar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020
Tags: