Ratusan perempuan dilaporkan hilang di Peru selama pembatasan sosial
5 Agustus 2020 15:14 WIB
Warga mencoba keluar dari kota Lima dengan menghindari petugas yang menegakkan aturan karantina, Peru, Sabtu (18/4/2020). Pemerintah setempat menerapkan karantina di kota itu untuk mencegah penyebaran COVID-19. ANTARAFOTO/REUTERS/Sebastian Castaneda/foc.
Bogota (ANTARA) - Sebanyak 915 perempuan dan anak perempuan dilaporkan hilang di Peru selama masa karantina wilayah akibat wabah COVID-19, demikian pejabat urusan hak perempuan menyatakan pada Selasa (4/8).
Secara rinci, para korban hilang itu terdiri dari 309 perempuan dan 606 anak perempuan dalam laporan antara 16 Maret hingga 30 Juni 2020.
Isabel Ortiz, komisioner hak perempuan di kantor Ombudsman Nasional Peru, menyebut bahwa pencatatan harus tetap dijalankan untuk menelusuri jejak mereka yang hilang atas pertimbangan jumlah kasus yang tinggi itu.
"Angka ini sudah mengkhawatirkan," kata Ortiz kepada Yayasan Thomson Reuters.
Baca juga: Peru keluarkan aturan untuk akhiri kekerasan terhadap perempuan
Dia menambahkan hal itu harus dilakukan bagaimana pun keadaan perempuan hilang itu hingga ditemukan--entah masih hidup atau meninggal dunia, serta apakah mereka korban perdagangan seks, kekerasan dalam rumah tangga, atau pembunuhan perempuan.
"Kami mengetahui jumlah perempuan dan anak perempuan yang hilang, namun kami tidak mempunyai informasi terperinci tentang berapa banyak yang telah ditemukan. Kami tidak mempunyai catatan yang tepat dan mutakhir," ujar Ortiz.
Tanpa data semacam itu, selamanya tidak akan diketahui bagaimana keadaan selanjutnya para perempuan yang dilaporkan hilang tersebut. Sebagian dari mereka kemungkinan merupakan korban kekerasan berbasis gender.
"Dalam beberapa kasus, pelaku (kekerasan atau pembunuhan) adalah orang yang melaporkan bahwa korban hilang," kata Ortiz menjelaskan.
Komisi nasional untuk pencatatan orang hilang akan memungkinkan terjadinya pertukaran silang informasi dengan kasus kejahatan terhadap perempuan lainnya untuk membantu penemuan korban dan mengidentifikasi pelaku.
"Kita membutuhkan pencatatan yang lebih tepat agar dapat membuat kita mengaitkan kasus perempuan hilang dengan kejahatan lain, seperti perdagangan manusia dan kekerasan seksual," tutur Ortiz.
Negara-negara di seluruh dunia melaporkan adanya peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga selama masa pembatasan sosial akibat pandemi COVID-19.
Dan menurut Ortiz, di wilayah Amerika Latin dan Karibia, kasus pembunuhan perempuan serta kekerasan terhadap perempuan memang tinggi karena kultur kejantanan (macho culture) dan norma sosial yang mengatur peran perempuan.
"Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena banyak pola patriarki yang berlaku di masyarakat. Banyak sekali stereotip tentang peran perempuan yang mengatur perilaku semestinya, dan ketika tidak sesuai, maka kekerasan digunakan terhadap mereka," demikian ujar Ortiz.
Sumber: Reuters
Baca juga: Peru laporkan jumlah kasus COVID-19 tertinggi kedua Amerika Latin
Baca juga: Presiden Peru ancam ambil alih RS swasta selama pandemi COVID-19
Secara rinci, para korban hilang itu terdiri dari 309 perempuan dan 606 anak perempuan dalam laporan antara 16 Maret hingga 30 Juni 2020.
Isabel Ortiz, komisioner hak perempuan di kantor Ombudsman Nasional Peru, menyebut bahwa pencatatan harus tetap dijalankan untuk menelusuri jejak mereka yang hilang atas pertimbangan jumlah kasus yang tinggi itu.
"Angka ini sudah mengkhawatirkan," kata Ortiz kepada Yayasan Thomson Reuters.
Baca juga: Peru keluarkan aturan untuk akhiri kekerasan terhadap perempuan
Dia menambahkan hal itu harus dilakukan bagaimana pun keadaan perempuan hilang itu hingga ditemukan--entah masih hidup atau meninggal dunia, serta apakah mereka korban perdagangan seks, kekerasan dalam rumah tangga, atau pembunuhan perempuan.
"Kami mengetahui jumlah perempuan dan anak perempuan yang hilang, namun kami tidak mempunyai informasi terperinci tentang berapa banyak yang telah ditemukan. Kami tidak mempunyai catatan yang tepat dan mutakhir," ujar Ortiz.
Tanpa data semacam itu, selamanya tidak akan diketahui bagaimana keadaan selanjutnya para perempuan yang dilaporkan hilang tersebut. Sebagian dari mereka kemungkinan merupakan korban kekerasan berbasis gender.
"Dalam beberapa kasus, pelaku (kekerasan atau pembunuhan) adalah orang yang melaporkan bahwa korban hilang," kata Ortiz menjelaskan.
Komisi nasional untuk pencatatan orang hilang akan memungkinkan terjadinya pertukaran silang informasi dengan kasus kejahatan terhadap perempuan lainnya untuk membantu penemuan korban dan mengidentifikasi pelaku.
"Kita membutuhkan pencatatan yang lebih tepat agar dapat membuat kita mengaitkan kasus perempuan hilang dengan kejahatan lain, seperti perdagangan manusia dan kekerasan seksual," tutur Ortiz.
Negara-negara di seluruh dunia melaporkan adanya peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga selama masa pembatasan sosial akibat pandemi COVID-19.
Dan menurut Ortiz, di wilayah Amerika Latin dan Karibia, kasus pembunuhan perempuan serta kekerasan terhadap perempuan memang tinggi karena kultur kejantanan (macho culture) dan norma sosial yang mengatur peran perempuan.
"Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena banyak pola patriarki yang berlaku di masyarakat. Banyak sekali stereotip tentang peran perempuan yang mengatur perilaku semestinya, dan ketika tidak sesuai, maka kekerasan digunakan terhadap mereka," demikian ujar Ortiz.
Sumber: Reuters
Baca juga: Peru laporkan jumlah kasus COVID-19 tertinggi kedua Amerika Latin
Baca juga: Presiden Peru ancam ambil alih RS swasta selama pandemi COVID-19
Penerjemah: Suwanti
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: