Satgas: Perlu komunikasi risiko dan rekayasa sosial tangani pandemi
3 Agustus 2020 17:02 WIB
Petugas mencatat identitas pengendara yang tidak menggunakan masker saat sosialisasi gerakan bermasker di Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat, Senin (20/7/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Koordinator Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Arie Rukmantara mengatakan, perlu komunikasi risiko berbasis sains dan rekayasa sosial dalam menangani pandemi termasuk pandemi COVID-19.
"Komunikasi publik, komunikasi risiko harus berbasis sains di masa pandemi ini," kata Arie dalam konferensi video yang diadakan di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta, Senin.
Arie yang juga penulis Buku Sejarah Pandemi menuturkan, komunikasi publik yang dilakukan pihak media satuan tugas juga berbasis ilmu pengetahuan sehingga tidak bisa mengeluarkan informasi begitu saja tanpa diverifikasi.
Menurut dia, dari berbagai pandemi yang terjadi sebelum COVID-19, penanganan pandemi harus dilengkapi edukasi kepada masyarakat dan rekayasa sosial seperti simulasi menjaga jarak yang benar dan mencuci tangan.
"Penanganan pandemi juga perlu disertai penegakan peraturan, dan perlu sanksi jika terpaksa seperti sanksi pidana dan sanksi sosial." katanya.
Baca juga: Gubernur Sumbar wacanakan pidana bagi pelanggar protokol kesehatan
Baca juga: Palangka Raya segera terapkan sanksi pelanggar protokol kesehatan
Dalam masa pandemi pun, menurut dia, menjaga kesehatan menjadi prioritas di tengah melakukan kegiatan ekonomi sehingga perlunya koordinasi antarlembaga.
Ketika pandemi, mulai muncul kepanikan masyarakat, yang diikuti dengan mencari informasi. "Jika informasi yang diperoleh salah, maka terjadi pengabaian ketidakacuhan atau ketidakpatuhan." katanya.
Menurut Arie, badan koordinator tertentu yang fokus pada penanganan pandemi secara menyeluruh juga dibentuk.
Koordinator itu adalah suatu badan yang mengatur badan yang mengatur koordinasi antarlembaga karena banyak bidang dan lembaga yang terlibat seperti di bidang kesehatan, perhubungan dan urusan masyarakat.
Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, komisi anti-flu melakukan kegiatan bersamaan seperti mengatur karantina, sosialisasi, kesehatan masyarakat dan pengetahuan masyarakat ditingkatkan.
Baca juga: Pakar: Sanksi denda bagi warga tak bermasker kurang efektif
Baca juga: Sumatera Selatan siapkan pergub atur sanksi tidak pakai masker
Baca juga: Ridwan Kamil: Presiden siapkan inpres sanksi pelanggar protokol
"Komunikasi publik, komunikasi risiko harus berbasis sains di masa pandemi ini," kata Arie dalam konferensi video yang diadakan di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta, Senin.
Arie yang juga penulis Buku Sejarah Pandemi menuturkan, komunikasi publik yang dilakukan pihak media satuan tugas juga berbasis ilmu pengetahuan sehingga tidak bisa mengeluarkan informasi begitu saja tanpa diverifikasi.
Menurut dia, dari berbagai pandemi yang terjadi sebelum COVID-19, penanganan pandemi harus dilengkapi edukasi kepada masyarakat dan rekayasa sosial seperti simulasi menjaga jarak yang benar dan mencuci tangan.
"Penanganan pandemi juga perlu disertai penegakan peraturan, dan perlu sanksi jika terpaksa seperti sanksi pidana dan sanksi sosial." katanya.
Baca juga: Gubernur Sumbar wacanakan pidana bagi pelanggar protokol kesehatan
Baca juga: Palangka Raya segera terapkan sanksi pelanggar protokol kesehatan
Dalam masa pandemi pun, menurut dia, menjaga kesehatan menjadi prioritas di tengah melakukan kegiatan ekonomi sehingga perlunya koordinasi antarlembaga.
Ketika pandemi, mulai muncul kepanikan masyarakat, yang diikuti dengan mencari informasi. "Jika informasi yang diperoleh salah, maka terjadi pengabaian ketidakacuhan atau ketidakpatuhan." katanya.
Menurut Arie, badan koordinator tertentu yang fokus pada penanganan pandemi secara menyeluruh juga dibentuk.
Koordinator itu adalah suatu badan yang mengatur badan yang mengatur koordinasi antarlembaga karena banyak bidang dan lembaga yang terlibat seperti di bidang kesehatan, perhubungan dan urusan masyarakat.
Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, komisi anti-flu melakukan kegiatan bersamaan seperti mengatur karantina, sosialisasi, kesehatan masyarakat dan pengetahuan masyarakat ditingkatkan.
Baca juga: Pakar: Sanksi denda bagi warga tak bermasker kurang efektif
Baca juga: Sumatera Selatan siapkan pergub atur sanksi tidak pakai masker
Baca juga: Ridwan Kamil: Presiden siapkan inpres sanksi pelanggar protokol
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020
Tags: