Pacu investasi panas bumi, pemerintah siapkan kompensasi eksplorasi
30 Juli 2020 12:08 WIB
Kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang, yang dioperasikan PT Indonesia Power Kamojang Power Generation Operation and Maintenance Services Unit (POMU) di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (14/3/2020). ANTARA/Kelik Dewanto/am.
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiapkan skema kompensasi berupa biaya penggantian (reimbursement cost) untuk aktivitas eksplorasi dan insentif pengembangan infrastruktur panas bumi lainnya sebagai upaya memacu investasi energi baru dan terbarukan (EBT) tersebut di Indonesia.
Pengembangan listrik dari sumber energi panas bumi yang ramah lingkungan tersebut memiliki karakteristik risiko dan biaya investasi yang tinggi, sehingga memerlukan sejumlah insentif.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM FX Sujiastoto dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Kamis, menjelaskan pemberian kompensasi dilakukan agar harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih terjangkau.
Baca juga: Anggota DPR katakan RUU EBT merupakan wujud demokrasi lingkungan
Selama ini, salah satu kendala pengembangan sektor panas bumi adalah harga jual listriknya belum ekonomis.
"Pemerintah memberikan insentif dan kompensasi sehingga harga listrik EBT di masyarakat menjadi terjangkau, namun keekonomian bagi pengembang masih tercapai. Misalnya, di panas bumi, untuk mengurangi risiko, ada insentif dan kompensasi agar harga di PT PLN (Persero) lebih baik. Biaya eksplorasi dan tax holiday akan diberikan," jelas Sutijiastoto saat menyampaikan perkembangan kinerja subsektor EBTKE kepada awak media di Jakarta, Selasa (28/7/2020).
Baca juga: Pakar Energi UB: Potensi pembangkit EBT di Indonesia sangat besar
Menurut dia, jika aturan ini diimplementasikan dengan baik, biaya produksi listrik yang dihasilkan dapat ditekan dan menambah gairah iklim investasi, sekaligus berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
"Jika ini diterapkan, tarif listrik bisa terjangkau oleh masyarakat dan risiko (investasi) panas bumi bisa murah, sehingga (pengembang) bisa mendapatkan akses dana yang lebih murah," katanya.
Kementerian ESDM memproyeksikan bila aturan terkait insentif dan kompensasi tersebut diimplementasikan, ada penurunan harga panas bumi sekitar 2,5 hingga 4 sen dolar AS per kilo Watt hour (kWh).
Aturan ini akan masuk dalam draf rancangan peraturan presiden (perpres) terkait pembelian listrik EBT oleh PLN.
Baca juga: Kementerian ESDM: Bauran energi baru terbarukan capai 11,51 persen
Pemerintah akan mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan pengembang dalam kegiatan eksplorasi wilayah kerja (WK) panas bumi.
Bentuk Tim Teknis
Sutijastoto menambahkan guna memantau proses pengembalian biaya kompensasi eksplorasi panas bumi berjalan lancar, Direktorat Jenderal EBTKE akan membentuk tim pengawasan dan pengolahan bersama Badan Geologi dan unsur profesional seperti perguruan tinggi.
"Untuk mengawasi itu, kita ada tim teknis dari Ditjen EBTKE, Direktorat Panas Bumi bekerja sama dengan Badan Geologi. Nanti, kita juga di backup tenaga ahli profesional dari perguruan tinggi setempat, misalnya UI dan ITB," terangnya.
Menurut dia, usulan insentif listrik EBT secara umum, maupun kompensasi eksplorasi bagi listrik panas bumi ini telah mendapatkan lampu hijau dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
"Kita sudah berkomunikasi dengan Kemenkeu, BKF sudah memberikan green light untuk insentif-insentif ini," jelasnya.
Baca juga: PLN dorong penggunaan energi baru terbarukan rendah karbon
Dana insentif biaya eksplorasi ini akan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Alhamdulillah, untuk 2021 sudah masuk dalam pagu indikatif dan siap dilaksanakan," tegas Sutijastoto.
Saat ini, pemerintah memang terus melakukan akselerasi pemanfaatan EBT dengan menyiapkan berbagai regulasi pendukung.
Indonesia memiliki potensi listrik EBT cukup besar yakni sekitar 442 Gigawatt (GW) dan baru terimplementasi sebesar 2,4 persen atau 10,4 GW.
Khusus panas bumi, potensinya di Indonesia mencapai 23,9 GW dan sudah terealisasi produksi listrik hingga Mei 2020 sebesar 8,17 persen atau 6.494 GWh.
Pengembangan listrik dari sumber energi panas bumi yang ramah lingkungan tersebut memiliki karakteristik risiko dan biaya investasi yang tinggi, sehingga memerlukan sejumlah insentif.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM FX Sujiastoto dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Kamis, menjelaskan pemberian kompensasi dilakukan agar harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih terjangkau.
Baca juga: Anggota DPR katakan RUU EBT merupakan wujud demokrasi lingkungan
Selama ini, salah satu kendala pengembangan sektor panas bumi adalah harga jual listriknya belum ekonomis.
"Pemerintah memberikan insentif dan kompensasi sehingga harga listrik EBT di masyarakat menjadi terjangkau, namun keekonomian bagi pengembang masih tercapai. Misalnya, di panas bumi, untuk mengurangi risiko, ada insentif dan kompensasi agar harga di PT PLN (Persero) lebih baik. Biaya eksplorasi dan tax holiday akan diberikan," jelas Sutijiastoto saat menyampaikan perkembangan kinerja subsektor EBTKE kepada awak media di Jakarta, Selasa (28/7/2020).
Baca juga: Pakar Energi UB: Potensi pembangkit EBT di Indonesia sangat besar
Menurut dia, jika aturan ini diimplementasikan dengan baik, biaya produksi listrik yang dihasilkan dapat ditekan dan menambah gairah iklim investasi, sekaligus berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
"Jika ini diterapkan, tarif listrik bisa terjangkau oleh masyarakat dan risiko (investasi) panas bumi bisa murah, sehingga (pengembang) bisa mendapatkan akses dana yang lebih murah," katanya.
Kementerian ESDM memproyeksikan bila aturan terkait insentif dan kompensasi tersebut diimplementasikan, ada penurunan harga panas bumi sekitar 2,5 hingga 4 sen dolar AS per kilo Watt hour (kWh).
Aturan ini akan masuk dalam draf rancangan peraturan presiden (perpres) terkait pembelian listrik EBT oleh PLN.
Baca juga: Kementerian ESDM: Bauran energi baru terbarukan capai 11,51 persen
Pemerintah akan mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan pengembang dalam kegiatan eksplorasi wilayah kerja (WK) panas bumi.
Bentuk Tim Teknis
Sutijastoto menambahkan guna memantau proses pengembalian biaya kompensasi eksplorasi panas bumi berjalan lancar, Direktorat Jenderal EBTKE akan membentuk tim pengawasan dan pengolahan bersama Badan Geologi dan unsur profesional seperti perguruan tinggi.
"Untuk mengawasi itu, kita ada tim teknis dari Ditjen EBTKE, Direktorat Panas Bumi bekerja sama dengan Badan Geologi. Nanti, kita juga di backup tenaga ahli profesional dari perguruan tinggi setempat, misalnya UI dan ITB," terangnya.
Menurut dia, usulan insentif listrik EBT secara umum, maupun kompensasi eksplorasi bagi listrik panas bumi ini telah mendapatkan lampu hijau dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
"Kita sudah berkomunikasi dengan Kemenkeu, BKF sudah memberikan green light untuk insentif-insentif ini," jelasnya.
Baca juga: PLN dorong penggunaan energi baru terbarukan rendah karbon
Dana insentif biaya eksplorasi ini akan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Alhamdulillah, untuk 2021 sudah masuk dalam pagu indikatif dan siap dilaksanakan," tegas Sutijastoto.
Saat ini, pemerintah memang terus melakukan akselerasi pemanfaatan EBT dengan menyiapkan berbagai regulasi pendukung.
Indonesia memiliki potensi listrik EBT cukup besar yakni sekitar 442 Gigawatt (GW) dan baru terimplementasi sebesar 2,4 persen atau 10,4 GW.
Khusus panas bumi, potensinya di Indonesia mencapai 23,9 GW dan sudah terealisasi produksi listrik hingga Mei 2020 sebesar 8,17 persen atau 6.494 GWh.
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020
Tags: