Bandarlampung (ANTARA) - Para petani kopi robusta di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung mengeluhkan harga kopi saat ini cenderung turun, lebih rendah dari harga rata-rata kopi biasanya yang dapat mereka nikmati.

Penurunan harga kopi itu semakin dirasakan dampaknya, mengingat pandemi COVID-19 belum lagi usai, sehingga makin menggerus pendapatan para petani yang berharap hasil panennya tetap berlimpah saat bencana penyakit virus mematikan menerpa saat ini.

Umumnya, petani kopi robusta maupun sebagian kecil pembudidaya kopi arabika di Lampung saat ini sedang memasuki panen raya.

"Benar pak, saat ini kami sedang panen raya kopi, meskipun harganya cenderung turun, tapi kami masih berharap hasil panen tetap tinggi," ujar Syarif Hidayat, pekebun kopi yang juga pengurus Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) Mitra Jaya Rindingan di Kecamatan Ulubelu, Tanggamus.

Harapan panen kopi dengan produksi tinggi disampaikan pula Rendy Hararuddin, Ketua Gapoktanhut Lestari Sejahtera di Sedayu, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus. Rata-rata pekebun kopi itu membudidayakan lahan produktif untuk ditanami kopi robusta antara satu hingga 2,5 hektare.

Harga kopi saat ini berkisar Rp17.000 hingga Rp18.500 per kg. Harga ini cenderung turun.

"Sekarang, harga kopi robusta asalan sekitar Rp18.500 per kg. Padahal, kopi yang kami produksi menjaga kualitas dengan cara memilih buah kopi merah (petik merah). Alangkah bahagianya petani kalau harga juga dapat sesuai dengan kualitasnya,” ujar Sri Wahyuni, pengelola usaha kopi bubuk di Pekon Ngarip, Kecamatan Ulubelu, Tanggamus.

Baca juga: Kopi celup Pringsewu inovasi minum kopi seduh praktis nan kekinian

Lampung salah satu provinsi penghasil kopi robusta utama di Indonesia. Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dari Lampung untuk diekspor. Rata-rata Lampung mampu berkontribusi 24,19 persen dari produktivitas kopi nasional.

Produksi petani kopi Lampung khususnya kopi robusta mencapai angka 90.000-100.000 ton per tahun.

Produktivitas petani kopi umumnya di Lampung berkisar satu hingga empat ton per hektare. Pemprov Lampung menargetkan ke depan produksi kopi petani di daerah ini naik dari rata-rata 0,78 ton per hektare menjadi rata-rata empat ton per hektare.

Pandemi COVID-19 dirasakan dampaknya bagi para petani kopi di Lampung, termasuk di Tanggamus.

Drastis
Sri Wahyuni, pengelola usaha kopi bubuk di Ngarip, Kecamatan Ulubelu, Tanggamus mengakui penjualan menurun drastis sejak merebak pandemi ini. Biasanya, bisa menjual sekitar satu kuintal kopi bubuk. Kini anjlok hanya sekitar 50 kg.

“Untuk tetap bertahan di tengah kondisi pandemi tersebut, petani kopi di Ulubelu menerapkan metode tumpang sari sembari menunggu panen kopi. Biasanya, kami menanam cabai dan pisang di sela-sela tanaman kopi sebagai penghasilan mingguan bagi petani,” kata dia pula.
Pengolahan kopi bubuk di Pekon Ngarip, Ulubelu, Lampung (ANTARA/Budisantoso Budiman)


Sri pun mengungkap keluh kesah para petani kopi di Lampung itu pada web semiinar (webinar) “Peluang, Ancaman, Tantangan, dan Kekuatan Kopi Robusta Lampung Menghadapi New Normal” yang digelar Rumah Kolaborasi (Ruko) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung pada Sabtu (11/7).

Webinar itu merupakan rangkaian webinar berseri terkait budi daya kopi robusta dan permasalahannya di Lampung berlangsung hingga Agustus 2020. Bersamaan itu, digelar pula webinar oleh Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) Lampung terkait perhutanan sosial pada adaptasi kebiasaan baru.

Sri Wahyuni yang juga Ketua Koperasi Produsen Srikandi Maju Bersama itu membenarkan harga dan penjualan kopi masih menjadi masalah utama bagi petani kopi lokal di Ulubelu, terlebih pada masa pandemi. Biasanya, ada pembeli dari luar daerah yang mengambil hasil panen kopi. Namun, di tengah pandemi seperti ini, orang dari luar daerah tidak ada yang datang, sehingga penjualan merosot tajam.

Dia berharap, pihak terkait, termasuk pemerintah, dapat membantu dalam pemasaran dan pengendalian harga kopi di Lampung, sehingga penjualan meningkat dan petani bisa merasakan manfaat dari geliat industri kopi.

“Sejauh ini, bantuan untuk nasabah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Padahal, tidak semua petani menjadi nasabah KUR,” kata dia.

Baca juga: Produk cokelat asli Pesawaran di ajang Festival Kopi Lampung

Paramita Mentari Kesuma, Direktur Eksekutif Sustainable Coffee Platform of Indonesia (Scopi), menyatakan penurunan penjualan kopi karena proses ekspor dan impor mengalami kendala, akibat pemberlakuan lockdown dampak pandemi COVID-19.

“Toko/coffee shop/restoran tutup karena kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sehingga daya beli terhadap kopi menurun,” kata Paramita yang juga narasumber webinar itu.

Kafe-kafe di pusat Kota Bandarlampung, ibu kota Provinsi Lampung, saat pandemi masih tutup, meskipun kini sebagian di antaranya mulai beroperasi kembali.

Koordinator Ruko Ir Warsito mengatakan di tengah pandemi ini, mendorong petani kopi mengembangkan budi daya kopi agroforestry.

Menurutnya, metode budi daya tersebut dapat meningkatkan produksi kopi dengan tetap menjaga lingkungan sekitar, mengingat agroforestry menggabungkan pengelolaan sumber daya hutan dan pepohonan dengan komoditas kopi.

"Ke depan, kami mendorong pihak terkait seperti pemerintah daerah untuk dapat mengembangkan model tanam kopi secara agroforestry, sehingga dapat menjaga hutan dan tetap menjaga kualitas produksi kopi," ujarnya.

Selain itu, Ruko mendorong pemanfaatan energi panas bumi dalam pengeringan kopi.

Menurut mantan Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Lampung tersebut, pemanfaatan energi panas bumi lebih efektif dan relatif singkat untuk mengeringkan kopi, yakni hanya butuh 48 jam. Tak hanya itu, kualitas kopi juga lebih terjamin.

“Kami berharap, metode-metode tersebut dapat lebih menambah produktivitas dan meningkatkan nilai jual kopi Lampung, sehingga petani tidak perlu khawatir lagi jika harga kopi di pasaran mengalami penurunan,” kata Warsito.

Gaya hidup
Ir Anshori Djausal MT, budayawan Lampung, menyatakan bahwa kopi telah menjelma menjadi gaya hidup, lambang kemapanan, absurditas kaum kreatif, bahkan suatu tingkat kemewahan.

Kopi telah menjelma menjadi produk kebudayaan. Awalnya budi daya kopi menganut sistem kearifan lokal “Shade Cultivation”, yaitu kopi ditanam di bawah lindungan/naungan pohon yang memberikan habitat alami untuk berbagai satwa dan serangga, serta membangun keanekaragaman hayati hutan. Pupuk dihasilkan dari kompos kulit kopi, sehingga tidak perlu lagi menggunakan pupuk kimia dan pestisida.

Petani juga menanam tanaman lain untuk tambahan penghasilan dan ketersediaan pangan, seperti pisang, nanas dan tanaman pangan lainnya.

Baca juga: Kopi organik Lahat diperkenalkan di Festival Kopi Lampung

Namun, pada kurun waktu 1970 dan 1980, selama Green Revolution, USAID dan beberapa kelompok mengeluarkan dana tidak kurang dari 80 juta dolar AS untuk mengubah cara bertanam kopi yang harus membabat hutan dan merusak keanekaragaman hayati “Sun Cultivation”.

Budi daya kopi dengan sistem Sun Cultivation, harus menebang semua pohon, menggunakan pupuk dan pestisida. Sistem ini menimbulkan masalah lingkungan, penggundulan hutan, polusi pestisida, perusakan habitat, menurunnya kualitas air dan tanah.

"Inilah masalah kebun kopi modern, lingkungan hidup di kebun kopi merana yang menyumbang terhadap kerusakan hutan," ujarnya.

Dari 50 negara yang tertinggi kerusakan hutannya dari tahun 1990 sampai 1995, sebanyak 37 negara adalah negara penghasil kopi.

Akibatnya, kembali kepada cara bertanam kopi tradisional dan cara baru menanam kopi di bawah pohon yang lebih baik, dan cara ini menghasilkan kopi premium lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan sebagai alternatif terhadap mainstream sun-grown coffee.

Dia menyebut permasalahan, tantangan, dan peluang pengembangan kopi di Indonesia, di antaranya produktivitas tanaman masih rendah hanya 60 persen dari potensi produksi, karena masih menggunakan benih asalan, serta sebagian tanaman dalam kondisi tua dan rusak, pengelolaan belum sesuai standar teknis serta serangan hama penyakit.

Selain itu, katanya, masih lemahnya kelembagaan petani dan sebagian besar produk yang dihasilkan diekspor berupa biji kopi (green beans).

Tingkat konsumsi kopi per kapita di dalam negeri masih rendah (0,86 kg/kapita/tahun), terbatasnya akses permodalan, masih terbatasnya kemitraan antara pengusaha/industri/ eksportir dengan petani, serta tata niaga kopi yang panjang didominasi oleh tengkulak.

Ia menjelaskan Shade Grown Coffee, kopi yang dibudidayakan di dalam kawasan hutan, dengan konsep kopi konservasi, kopi Agroforestry.

Anshori menyatakan, menanam kopi di bawah naungan pohon bukan cara baru, kopi memang cocok tumbuh di bawah pohon dan naungan hutan di bawah kanopi pohon yang tinggi. Masa depan kopi tergantung pada pohon. Petani kopi menanam serta mengelola tanaman dan pohon kopi di lahan garapannya.

Kopi tumbuh alamiah di bawah pohon tinggi yang melindunginya dari perubahan temperatur dan curah hujan yang tinggi. Deretan pohon yang tinggi melindungi kopi dari angin yang kencang dan adanya hutan menyediakan pengendalian alami terhadap hama dan penyakit.

Baca juga: Kopi aroma Kakao asli Waykanan hadir di Festival Kopi Lampung

Namun, dia mengingatkan, keberlanjutan komoditas kopi sangat dipengaruhi oleh harga, sehingga jika harga kopi masih murah dan petaninya susah, maka petani kopi tradisional secara perlahan akan berhenti menanam kopi dan menggantinya dengan tanaman lain yang menguntungkan.

"Sudah saatnya membangun kesadaran bahwa harga kopi harus cukup mahal sebagai 'harga yang adil', supaya petani kopi masih mau bertanam kopi," ujarnya.

Ia mengingatkan sebagai petani yang menghasilkan devisa yang cukup besar, petani kopi di kawasan hutan yang ikut program perhutanan sosial harus diperlakukan sama dengan petani yang lain, karena statusnya sudah legal, mendapatkan pembinaan dan bantuan sebagaimana petani hortikultura.

Produksi kopi Lampung juga diharapkan makin meningkat, sehingga para petani perlu mendapat dukungan berupa pasokan bibit kopi unggulan.

Pemerintah perlu berkolaborasi dengan perguruan tinggi di Lampung untuk membudidayakan bibit kopi unggulan.

Upaya lain meningkatkan volume konsumsi kopi Lampung, dengan mengampanyekan konsumsi kopi lokal bukan kopi impor.

Karenanya, imbauan Jumat sebagai hari minum kopi Lampung bersama-sama masih harus terus digaungkan secara masif, agar menjadi kebiasaan baru sekaligus mendorong kopi asal Lampung diiminati dan terjual tak hanya di dalam negeri, tapi juga ke mancanegara.

Baca juga: Cokelat khas Pesawaran ramaikan Festival Kopi Lampung
Baca juga: Kosmetik Kopi asal Lampung Tengah hadir di Festival Kopi Lampung
Baca juga: Tingkatkan konsumsi kopi Lampung melalui edukasi kopi