Ekonom: Defisit fiskal diperketat terlalu cepat picu kontraksi
28 Juli 2020 15:46 WIB
Tangkapan layar ekonom senior dari Universitas Indonesia Chatib Basri dalam webinar peluang dan tantangan Indonesia di era normal baru di Jakarta, Selasa (28/7/2020) (ANTARA/Dewa Wiguna)
Jakarta (ANTARA) - Ekonom senior Chatib Basri menyatakan perekonomian Indonesia bisa mengalami kontraksi jika terlalu cepat melakukan pengetatan defisit fiskal karena dampak pandemi COVID-19 diperkirakan masih akan terasa dalam tahun mendatang.
“Keputusan membuat defisit fiskal itu disiplin harus melihat data. Kalau situasi ekonomi belum memungkinkan, ekspansi saja,” katanya dalam webinar peluang dan tantangan Indonesia di era normal baru di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, ekspansi defisit fiskal masih diperlukan salah satunya dalam penanganan soal perlindungan sosial sebagai dampak pandemi COVID-19 yakni dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT).
Baca juga: Chatib Basri: Perlu ada perluasan bansos kelompok ekonomi menengah
BLT, kata dia, perlu diperluas tidak hanya kepada kelompok miskin tetapi juga kepada masyarakat rentan miskin akibat dampak virus corona, apalagi Bank Dunia memperkirakan ada 115 juta orang Indonesia yang rentan miskin.
Ia meyakini dengan adanya BLT akan mendorong daya beli atau konsumsi sehingga pada akhirnya mendorong masuknya investasi.
Dana BLT itu, kata dia, bisa direalokasikan dari kementerian/lembaga salah satunya dengan menunda proyek-proyek infrastruktur namun lebih memprioritaskan perawatan selama sekitar enam bulan.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga harus melakukan diskresi dengan memotong belanja karena penerimaan negara menurun namun belanja untuk sosial ekonomi terus naik dan belanja bersifat wajib misalnya pendidikan tapi defisit fiskal harus dikecilkan.
Baca juga: Chatib Basri ingatkan pentingnya jaring pengaman sosial selama wabah
“Penerimaan turun, spending naik tapi defisit malah dikecilkan, apa yang terjadi? Ada spending discretionary di tangan pemerintah yang harus dipotong,” katanya.
Dampak COVID-19, lanjut dia, sejumlah negara menetapkan defisit fiskal yang besar di antaranya Amerika Serikat sebesar 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan Singapura sebesar 12 persen dari PBD.
“Soal utang itu selama tingkat bunga murah sekarang di luar, growth lebih tinggi dari utang maka rasio utang terhadap PDB akan turun dengan sendirinya,” imbuh Menteri Keuangan 2013-2014 itu.
Sementara itu, Pemerintah memperlebar defisit fiskal menjadi 6,34 persen pada 2020 atau mencapai Rp1.039 triliun.
Tahun 2023, defisit fiskal akan kembali pada batas maksimal 3 persen.
Pemerintah baru saja merevisi besaran defisit fiskal dalam RAPBN 2021 mencapai 5,2 persen setelah sebelumnya dalam desain awal yang disepakati dengan Badan Anggaran DPR RI mencapai 4,17 persen.
Revisi defisit fiskal 2021 itu untuk mendukung pembiayaan program prioritas termasuk penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).
“Keputusan membuat defisit fiskal itu disiplin harus melihat data. Kalau situasi ekonomi belum memungkinkan, ekspansi saja,” katanya dalam webinar peluang dan tantangan Indonesia di era normal baru di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, ekspansi defisit fiskal masih diperlukan salah satunya dalam penanganan soal perlindungan sosial sebagai dampak pandemi COVID-19 yakni dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT).
Baca juga: Chatib Basri: Perlu ada perluasan bansos kelompok ekonomi menengah
BLT, kata dia, perlu diperluas tidak hanya kepada kelompok miskin tetapi juga kepada masyarakat rentan miskin akibat dampak virus corona, apalagi Bank Dunia memperkirakan ada 115 juta orang Indonesia yang rentan miskin.
Ia meyakini dengan adanya BLT akan mendorong daya beli atau konsumsi sehingga pada akhirnya mendorong masuknya investasi.
Dana BLT itu, kata dia, bisa direalokasikan dari kementerian/lembaga salah satunya dengan menunda proyek-proyek infrastruktur namun lebih memprioritaskan perawatan selama sekitar enam bulan.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga harus melakukan diskresi dengan memotong belanja karena penerimaan negara menurun namun belanja untuk sosial ekonomi terus naik dan belanja bersifat wajib misalnya pendidikan tapi defisit fiskal harus dikecilkan.
Baca juga: Chatib Basri ingatkan pentingnya jaring pengaman sosial selama wabah
“Penerimaan turun, spending naik tapi defisit malah dikecilkan, apa yang terjadi? Ada spending discretionary di tangan pemerintah yang harus dipotong,” katanya.
Dampak COVID-19, lanjut dia, sejumlah negara menetapkan defisit fiskal yang besar di antaranya Amerika Serikat sebesar 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan Singapura sebesar 12 persen dari PBD.
“Soal utang itu selama tingkat bunga murah sekarang di luar, growth lebih tinggi dari utang maka rasio utang terhadap PDB akan turun dengan sendirinya,” imbuh Menteri Keuangan 2013-2014 itu.
Sementara itu, Pemerintah memperlebar defisit fiskal menjadi 6,34 persen pada 2020 atau mencapai Rp1.039 triliun.
Tahun 2023, defisit fiskal akan kembali pada batas maksimal 3 persen.
Pemerintah baru saja merevisi besaran defisit fiskal dalam RAPBN 2021 mencapai 5,2 persen setelah sebelumnya dalam desain awal yang disepakati dengan Badan Anggaran DPR RI mencapai 4,17 persen.
Revisi defisit fiskal 2021 itu untuk mendukung pembiayaan program prioritas termasuk penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: