Pekanbaru (ANTARA) - Hamparan lahan seluas 10 hektare di Desa Karya Indah, Kabupaten Kampar, Riau, itu menghijau asri.

Sejauh mata memandang, tanaman ubi kayu siap panen berbaris rapi dalam harmoni.

Wajah-wajah lelah masyarakat yang tergabung dalam kelompok masyarakat Tunas Karya itu terbayar sudah. Semangat mereka membara untuk terus mengolah areal yang sebelumnya hanyalah hamparan gambut kosong dan rawan dilanda kebakaran, kini menjadi sumber pangan.

"Dulu lahan di kampung kami ini sering ekspor asap ke Pekanbaru," kata Zamzami, pemuda yang menjadi penggerak dan pemimpin kelompok masyarakat (Pokmas) Tunas Karya, kepada Antara di Pekanbaru.

Senyum Zamzami dan 15 anggotanya merekah renyah saat Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead mencabut sebatang pohon ubi kayu atau singkong dengan umbi sebesar paha orang dewasa. Secara simbolis, ubi yang dicabut itu merupakan awal dari panen raya perdana Pokmas Tunas Karya.

Lelah mereka untuk lepas dari status penyumbang asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terbayar. Kini, yang perlu mereka lakukan adalah menjaga dan terus bekerja agar singkong yang dibudidayakan sejak akhir 2019 tersebut terus produktif.

Pokmas Tunas Karya berada di Desa Karya Indah, Kecamatan Tapung. Secara geografis, desa itu berbatasan langsung dengan Kota Pekanbaru. Jaraknya sangat dengan batas permukiman Garuda Sakti dan Jalan Riau Ujung. Juga tak seberapa jauh dari Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru.

Bagi pemerintah, bandara merupakan indikator kuat penentu gagal atau berhasilnya dalam menangani karhutla.

Zamzami berkisah, hamparan lahan gambut itu sangat rawan terbakar saat musim kering tiba. Kebakaran terakhir yang masih membekas terjadi pada 2018. Saat itu, kebakaran cukup luas hingga menyebabkan asap pekat membumbung ke udara.

"Dulu sering kebakaran di sini. Seingat saya terakhir terjadi tahun 2018. Lalu kami dapat bantuan dari dinas (pemerintah Provinsi Riau) dan BRG untuk mengelola lahan ini secara swadaya," ujarnya.

Baca juga: Ubi racun ternyata dapat dijadikan tambahan penghasilan

Sejak dimulainya budi daya singkong, masyarakat lebih memperhatikan dan menjaga lahan gambut di daerah mereka. Apalagi masyarakat menaruh harapan besar, budi daya singkong itu akan menambah pendapatan mereka serta menjadi upaya dalam menjaga ketahanan pangan.

Penanaman singkong dimulai September 2019. Di Pokmas yang diketuainya, ada sekitar 15 anggota. Merekalah yang mengelola lahan gambut tersebut.

"Dulu di sini boleh dikatakan hutan belukar, tidak terawat dan terpantau sehingga terbakar," ujarnya.

Baca juga: Polisi tangkap dua pembakar lahan di Kampar

Sampai akhirnya, kata dia, harapan muncul saat tim dari BRG datang ke desa mereka, memberikan bantuan untuk pembibitan dan pengolahan lahan secara keseluruhan. Singkong menjadi pilihan karena memang dari permintaan masyarakat. Selain mudah perawatan, bibit singkong juga tersedia dalam jumlah yang banyak.

"Apalagi singkong cocok ditanam di sini. Nanti akan kami diskusikan dengan anggota Pokmas, akan kami apakan singkong ini," tuturnya.

Satu hal yang masih menggelayuti pikirannya, yakni harga jual singkong di pasaran sedang turun. Dari yang biasanya Rp1.200 sampai Rp1.300 per kilogram, kini hanya Rp700 sampai Rp800. Untuk itu dia berharap ada sentuhan lainnya dari pemerintah untuk urusan penjualan nantinya.

Dalam kunjungan perdana di luar Jawa usai hibernasi sekian lama akibat pandemi corona itu, Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead mengatakan keberhasilan Pokmas Tunas Karya merupakan buah investasi dari salah satu program kerja BRG, yakni revitalisasi ekonomi.

Secara umum BRG memiliki tiga program kerja, yakni pembasahan, penghijauan atau penanaman kembali atau revegetasi dan peningkatan ekonomi revitalisasi. Program itu dikenal dengan 3R.

Baca juga: Kebakaran lahan di Kampar mendekati pemukiman warga

Pokmas Tuna Karya merupakan satu dari puluhan kelompok masyarakat di Riau yang mendapat sentuhan BRG, terutama masyarakat yang tinggal di areal gambut. Untuk panen raya singkong itu, ia mengatakan potensi ekonomi yang didapat mencapai Rp30 juta per hektare dengan asumsi Rp1.000 per kilogram.

Menurut dia, keberadaan para petani dan kelompok masyarakat, terutama yang tinggal di areal gambut perlu diperkuat. Langkah itu untuk mewujudkan ketahanan pangan sesuai pesan utama Presiden Joko Widodo.

"Gambut yang terjaga dengan baik dan terjaga optimal di musim kemarau sehingga petani bisa bekerja dan kehidupan ekonomi terjamin. Makanya program pembasahan harus berjalan seiring dengan revitalisasi ekonomi," kata Nazir.

Dia mengatakan program itu telah menyasar banyak kelompok masyarakat di penjuru Nusantara yang wilayahnya dikelilingi gambut tebal. Di Kalimantan Tengah, misalnya, ada kelompok masyarakat yang program revitalisasi fokus pada ekowisata.

Sementara di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, yang program revitalisasi ekonomi fokus pada sagu, sebagai komoditas utama wilayah pesisir Riau tersebut. Berdasarkan catatan Antara, program revitalisasi ekonomi di Kampar sendiri sebelumnya sukses dengan komoditas nanas.

"Kami mendapat masukan dan arahan dari gubernur, kepala dinas dan bupati tentang potensi apakah pertanian, perikanan dan peternakan dari masyarakat. Kami turun berdiskusi dengan masyarakat. Dibantu juga koperasi petani gambut Riau," katanya.

"Baru diputuskan, contohnya di sini ubi (singkong), ada juga sapi, bebek petelur, ikan. Lalu petaninya kami bantu, kami fasilitasi. Kami punya tim teknis yang secara berkala memberikan pendampingan ke masyarakat," ujar dia.

Nazir mengungkapkan, seluruh kegiatan yang dirancang bersama seperti ini dieksekusi langsung oleh masyarakat.

"Dengan demikian, masyarakat akan mendapatkan langsung manfaatnya saya kira, karena program dikelola masyarakat sendiri. Lalu rasa kepemilikan itu lebih tinggi, karena ibu-ibu dan bapak-bapaknya yang menggarap dan membangun di tingkat tapak," ujar dia.

Tekan karhutla

Subandi, bapak tiga anak berusia 45 tahun, dengan tenang menjelaskan langkah-langkah pencegahan karhutla di hadapan Nazir. Subandi menjadi salah satu sosok yang ditemui Nazir Foead dalam kunjungan kerjanya ke Riau.

Dia mengatakan sejak 2017 membentuk kelompok masyarakat peduli api (MPA). Alasannya sederhana. Pria yang kesehariannya bertani palawija itu ingin kampungnya terbebas dari julukan "eksportir" asap.

Kebakaran hebat yang melanda kampungnya hingga menghanguskan puluhan hektare lahan gambut pada 2015 masih membekas jelas dalam pikirannya. Ia juga masih mengingat bagaimana ketiga buah hatinya terbatuk-batuk hingga harus bernafas tersengal-sengal. Itu semua karena asap pekat yang membelenggu desanya.

Pada tahun itu, Riau memang "babak belur" dihajar kebakaran hutan dan lahan. Banyak sekolah tutup, Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru lumpuh, rumah sakit penuh. Tidak kurang dari sebulan asap pekat melanda. Kondisi itu menghiasi halaman depan media nasional dan menjadi gunjingan negera tetangga.

Di tahun itulah cikal bakal MPA Desa Karya Indah, Kecamatan Tapung, berdiri. Kini, Subandi menjadi salah satu mitra BRG. Tercatat, 50 sumur bor yang dibangun oleh BRG dan Pemerintah Provinsi Riau siap membasahi lahan di sekitar areal lahan di desa itu.

Subandi dan masyarakat rela meninggalkan keluarga, mengorbankan dapur agar kebakaran segera dipadamkan. Tidak jarang saat itu mereka lebih memilih menginap beratapkan langit dibanding hangatnya rumah.

Kondisi itu masih terus terjadi hingga 2016. Saat karhutla masih terjadi, mereka kembali beraksi. Meski tak sebesar di tahun 2015, mereka masih kerap membantu satgas menanggulangi karhutla dengan peralatan seadanya. Hingga akhirnya, di 2017, pemerintah setempat mengukuhkan mereka sebagai kelompok masyarakat peduli api (MPA).

Keberadaan MPA diharapkan tak hanya sekadar melakukan penanggulangan, namun juga pencegahan. Subandi yang kini Ketua MPA Karya Indah cukup berhasil menekan karhutla di kampungnya, meski belum sepenuhnya bebas dari bencana tahunan itu.

Subandi mengakui hingga pertengahan tahun ini, wilayahnya masih terjadi karhutla, terutama saat musim kering tiba. Hanya saja, luasannya tak separah sebelumnya. Keberadaan mereka sebagai garda terdepan pencegahan dan penanggulangan menjadi kunci pengendalian terpadu itu.

Dia mengatakan kebakaran biasanya terjadi di lahan kosong yang pemiliknya tidak tinggal di kampung itu. Itu jamak terjadi di Riau. Para tuan tanah berkantong tebal biasa membeli lahan dan meninggalkannya.

Selain itu, ia juga mengakui jika ada segelintir masyarakat yang masih saja melakukan praktik perun atau membakar sampah sisa pembersihan lahan.

"Untuk kondisi seperti saat ini kami semakin meningkatkan kegiatan patroli dan sosialisasi bersama teman-teman satgas," tuturnya.

Kisah Subandi sangat berliku. Cibiran, omongan di belakang dan ditinggalkan para relawan, adalah bumbu perjuangannya. Dia tak patah arang. Berhenti, baginya adalah ketika nafasnya tak lagi memenuhi rongga paru-parunya.

Perjuangan panjang Subandi dengan MPA Karya Indah baru awal cerita. Dia mengakui bahwa MPA yang ia pimpin harus lebih solid. Ia bersyukur yang sebelumnya peralatan mereka hanya cangkul, parang, pelepah pisang dan ember, kini telah dilengkapi berbagai mesin, sepeda motor, dan peralatan penunjang lainnya yang merupakan hibah dari pemerintah.

Ke depan, Subandi ingin ia dan 15 anggotanya juga mandiri dari segi ekonomi. Dia ingin MPA yang ia pimpin tak lagi kaku dengan urusan karhutla, namun mandiri secara ekonomi.

"Saya ingin MPA kami mandiri secara ekonomi. Sebagian besar relawan kami hanyalah pekerja kasar yang ingin berbuat sesuatu untuk kampung. Ekonomi pas-pasan, dan kalau ada karhutla itu sangat sulit," ujarnya.

Untuk itu, di tahun ini, ia menargetkan akan menggarap lahan kosong milik sesama anggota MPA untuk ditanami nanas. Tanaman itu saat ini tengah naik daun di Kampar dan diolah menjadi berbagai jenis kudapan lezat.

Subandi kini bisa tidur lebih nyenyak. Dia tak lagi khawatir dengan ancaman karhutla. Langkah kecil Subandi dengan membentuk MPA Karya Indah dan bersinergi bersama satgas karhutla akan menjaga wajah Indonesia lebih bersahabat di saat musim kering tiba.