Pejalan kaki tuntut keadilan lahan dari Medan istirahat di Palembang
26 Juli 2020 18:56 WIB
Puluhan petani berjalan kaki dari Medan, Sumut untuk memperjuangkan keadilan tanah ke Istana Negara di Jakarta, saat tiba di Palembang, Sumsel, Sabtu (25/7/2020) malam untuk beristirahat. (ANTARA/Yudi Abdullah/20)
Palembang (ANTARA) - Puluhan petani yang berjalan kaki dari Medan, Sumatera Utara (Sumut) untuk memperjuangkan keadilan tanah ke Istana Negara di Jakarta, tiba di Kota Palembang, Sabtu (25/7) malam, untuk beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan sesuai tujuan mereka.
Salah seorang petani itu, Mohammad Hatta, di Palembang, Minggu pagi, menyatakan setelah beristirahat beberapa jam, rombongan petani yang menuntut keadilan tanah yang bersengketa dengan PTPN II melanjutkan jalan kaki untuk menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kami para petani dari Dusun Bekala, Desa Simalingkar A dan Desa Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang yang tergabung dalam Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) akan melanjutkan aksi jalan kaki dari Medan, Sumatera Utara menuju Istana Negara di Jakarta untuk mencari keadilan," ujarnya.
Aksi jalan kaki tersebut dilakukan karena areal lahan dan tempat tinggal yang dikelola dan ditempati mereka sejak tahun 1951, telah digusur oleh pihak PTPN II.
Padahal petani itu telah memiliki SK Landreform sejak tahun 1984, dan sebanyak 36 petani di Sei Mencirim yang ikut tergusur sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM) lahan mereka.
Luas area yang berkonflik antara petani yang tergabung dalam SPSB dengan PTPN II adalah sekitar 854 hektare, dan luas area yang berkonflik antara petani yang tergabung dalam STMB dengan PTPN II mencapai 850 ha dan tuntutan petani STMB adalah sekitar 323,5 ha.
Dia menjelaskan, pada tahun 2017 petani yang menempati dan mengelola lahan/tanah sejak tahun 1951 dikejutkan dengan pemasangan plang oleh pihak PTPN II Deli Serdang yang tertulis Nomor Sertifikat Hak Guna Usaha No. 171/2009 di Desa Simalingkar A.
Selanjutnya, pihak PTPN II dikawal oleh ribuan aparat TNI dan Polri menggusur lahan-lahan pertanian masyarakat dan menghancurkan seluruh tanaman yang ada di dalamnya.
Kejadian tersebut memicu perlawanan dari masyarakat Desa Simalingkar A, Desa Duren Tunggal, dan Desa Namo Bintang, Kecanatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumut hingga terjadi bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan.
Puluhan petani terluka dan puluhan petani lainnya ditahan di polsek hingga polres dan dibawa ke Kantor Zipur (Kodim).
Sampai saat ini, sebanyak tiga petani yakni Ardi Surbakti, Beni Karo-Karo, dan Japetta Purba masih menjalani proses hukum.
Mereka ditangkap tanpa diberikan surat panggilan, tidak diperlihatkan surat perintah penangkapan terlebih dahulu.
Selama bertahun-tahun, para petani di Desa Simalingkar A dan Sei Mencirim telah berupaya untuk mengadukan nasib kepada Bupati Deli Serdang, DPRD Kabupaten Deli Serdang, Badan Pertanahan Negara (BPN) Deli Serdang hingga DPRD Sumut dan Gubernur Sumut, namun hingga saat ini belum mendapatkan tanggapan dan penyelesaian yang jelas.
Dalam kondisi pandemi COVID-19, dampak dari penggusuran dirasakan memberatkan petani itu, sehingga kondisi mereka secara ekonomi sudah lemah, tidak bisa bertani lagi. Mereka tidak bisa lagi membayar biaya sekolah anak.
Para petani melakukan aksi jalan kaki untuk mengadukan nasib mereka kepada Presiden Jokowi, dengan harapan agar negara hadir dan melalui Presiden konflik agraria dialami mereka bisa segera diselesaikan dengan baik.
Petani yang tergabung dalam aksi jalan kaki itu sepakat untuk tetap melakukan aksi sampai di Jakarta dan tidak akan pulang ke Medan bila tuntutan pengembalian tanah itu tidak dipenuhi.
Dalam keterangan tertulisnya, disebutkan penerbitan HGU No. 171/Simalingkar A seluas 854,26 hektare itu, pernah digugat oleh masyarakat Forum Kaum Tani Lau Cih di PTUN Medan.
Namun, perkara tersebut telah memperoleh putusan Kasasi di MA RI No. 5K/TUN/2020 yang pada intinya menguatkan putusan hukum PTUN Medan dan Pengadilan Tinggi TUN yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima atas klaim sepihak Forum Kaum Tani Lau Cih.
PTPN II juga telah memberikan tali asih secara bertahap kepada masyarakat yang bersedia meninggalkan lahan tersebut, dan menyerahkan kembali tanah tersebut kepada PTPN II sesuai dengan hasil kesepakatan dengan dengan Muspida dan DPRD Provinsi Sumut. Pengambilalihan lahan dilakukan sejak 2017 hingga 2019 juga melibatkan unsur muspika, aparat keamanan, dan aparat penegak hukum.
Selama periode tersebut PTPN II sudah menyerahkan tali asih atau ganti rugi kepada 199 kepala keluarga untuk lahan seluas 356.093 meter persegi.
Baca juga: F-PKB terima aspirasi petani Sumut jalan kaki ke Jakarta
Salah seorang petani itu, Mohammad Hatta, di Palembang, Minggu pagi, menyatakan setelah beristirahat beberapa jam, rombongan petani yang menuntut keadilan tanah yang bersengketa dengan PTPN II melanjutkan jalan kaki untuk menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kami para petani dari Dusun Bekala, Desa Simalingkar A dan Desa Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang yang tergabung dalam Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) akan melanjutkan aksi jalan kaki dari Medan, Sumatera Utara menuju Istana Negara di Jakarta untuk mencari keadilan," ujarnya.
Aksi jalan kaki tersebut dilakukan karena areal lahan dan tempat tinggal yang dikelola dan ditempati mereka sejak tahun 1951, telah digusur oleh pihak PTPN II.
Padahal petani itu telah memiliki SK Landreform sejak tahun 1984, dan sebanyak 36 petani di Sei Mencirim yang ikut tergusur sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM) lahan mereka.
Luas area yang berkonflik antara petani yang tergabung dalam SPSB dengan PTPN II adalah sekitar 854 hektare, dan luas area yang berkonflik antara petani yang tergabung dalam STMB dengan PTPN II mencapai 850 ha dan tuntutan petani STMB adalah sekitar 323,5 ha.
Dia menjelaskan, pada tahun 2017 petani yang menempati dan mengelola lahan/tanah sejak tahun 1951 dikejutkan dengan pemasangan plang oleh pihak PTPN II Deli Serdang yang tertulis Nomor Sertifikat Hak Guna Usaha No. 171/2009 di Desa Simalingkar A.
Selanjutnya, pihak PTPN II dikawal oleh ribuan aparat TNI dan Polri menggusur lahan-lahan pertanian masyarakat dan menghancurkan seluruh tanaman yang ada di dalamnya.
Kejadian tersebut memicu perlawanan dari masyarakat Desa Simalingkar A, Desa Duren Tunggal, dan Desa Namo Bintang, Kecanatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumut hingga terjadi bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan.
Puluhan petani terluka dan puluhan petani lainnya ditahan di polsek hingga polres dan dibawa ke Kantor Zipur (Kodim).
Sampai saat ini, sebanyak tiga petani yakni Ardi Surbakti, Beni Karo-Karo, dan Japetta Purba masih menjalani proses hukum.
Mereka ditangkap tanpa diberikan surat panggilan, tidak diperlihatkan surat perintah penangkapan terlebih dahulu.
Selama bertahun-tahun, para petani di Desa Simalingkar A dan Sei Mencirim telah berupaya untuk mengadukan nasib kepada Bupati Deli Serdang, DPRD Kabupaten Deli Serdang, Badan Pertanahan Negara (BPN) Deli Serdang hingga DPRD Sumut dan Gubernur Sumut, namun hingga saat ini belum mendapatkan tanggapan dan penyelesaian yang jelas.
Dalam kondisi pandemi COVID-19, dampak dari penggusuran dirasakan memberatkan petani itu, sehingga kondisi mereka secara ekonomi sudah lemah, tidak bisa bertani lagi. Mereka tidak bisa lagi membayar biaya sekolah anak.
Para petani melakukan aksi jalan kaki untuk mengadukan nasib mereka kepada Presiden Jokowi, dengan harapan agar negara hadir dan melalui Presiden konflik agraria dialami mereka bisa segera diselesaikan dengan baik.
Petani yang tergabung dalam aksi jalan kaki itu sepakat untuk tetap melakukan aksi sampai di Jakarta dan tidak akan pulang ke Medan bila tuntutan pengembalian tanah itu tidak dipenuhi.
Dalam keterangan tertulisnya, disebutkan penerbitan HGU No. 171/Simalingkar A seluas 854,26 hektare itu, pernah digugat oleh masyarakat Forum Kaum Tani Lau Cih di PTUN Medan.
Namun, perkara tersebut telah memperoleh putusan Kasasi di MA RI No. 5K/TUN/2020 yang pada intinya menguatkan putusan hukum PTUN Medan dan Pengadilan Tinggi TUN yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima atas klaim sepihak Forum Kaum Tani Lau Cih.
PTPN II juga telah memberikan tali asih secara bertahap kepada masyarakat yang bersedia meninggalkan lahan tersebut, dan menyerahkan kembali tanah tersebut kepada PTPN II sesuai dengan hasil kesepakatan dengan dengan Muspida dan DPRD Provinsi Sumut. Pengambilalihan lahan dilakukan sejak 2017 hingga 2019 juga melibatkan unsur muspika, aparat keamanan, dan aparat penegak hukum.
Selama periode tersebut PTPN II sudah menyerahkan tali asih atau ganti rugi kepada 199 kepala keluarga untuk lahan seluas 356.093 meter persegi.
Baca juga: F-PKB terima aspirasi petani Sumut jalan kaki ke Jakarta
Pewarta: Yudi Abdullah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020
Tags: