Surabaya (ANTARA) - Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menilai Kota Surabaya, Jawa Timur, sudah saatnya memberlakukan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan untuk kendaraan bermotor.

"BBM bersih memicu adanya udara bersih," kata Direktur KPBB Ahmad Syafrudin saat menjadi narasumber dalam diskusi daring bertema Strategi Mengatasi Kemacetan dan Polusi Udara di Area Surabaya Raya yang digelar Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Jumat.

Menurut dia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengatasi persoalan polusi udara di Surabaya yakni sumber pencemaran udara dan emisi rumah kaca, dampak kesehatan, sosial ekonomi dan lingkungan hidup, strategi pengendalian pencemaran udara serta BBM bersih sebagai prasyarat kualitas udara yang baik dan sehat.

Baca juga: Pemerintah diminta kendalikan pencemaran udara kurangi risiko COVID-19
Baca juga: PSBB sebabkan kualitas udara Jakarta lebih baik, sebut BMKG


Syafrudin mengatakan sumber pencemaran udara dan emisi rumah kaca meliputi transportasi (darat udara dan laut), industri/perhotelan dan pariwisata, pengelolaan sampah, rumah tangga, komersial, pertanian dan lahan, proses konstruksi dan debu jalanan.

Secara umum, lanjut dia, pengelolaan sampah di Surabaya sudah cukup baik. Namun, lanjut dia, masih ada beberapa orang yang suka membakar sampah berupa ban motor sehingga mengakibatkan kualitas udara di kawasan tertentu kurang baik.

"Wali Kota Surabaya sudah baik dalam mengatasi polusi udara di Surabaya, seperti halnya membangun trotoar. Tapi perlu didorong lagi untuk menambah jalur sepeda," katanya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan karakter kota besar itu sama yaitu kemacetan lalu lintas.

"Surabaya menjadi salah satu kota macet di Indonesia setelah Jakarta. Untuk itu, jangan sampai Surabaya seperti Jakarta, sehingga perlu kita dorong untuk diantisipasi," ujarnya.

Baca juga: Pencemaran udara berdampak pada perubahan iklim
Baca juga: Teknik analisis nuklir, metode penting cari sumber pencemaran udara


Menurut dia, jika Kota Surabaya tidak dikendalikan, maka akan menjadi kota termacet di Indonesia. Apalagi Surabaya saat ini sudah masuk jajaran kota termacet di dunia.

"Sebanyak 17 persen polusi udara dipicu oleh transportasi darat dan kendaraan pribadi," katanya.

Selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah kota di Indonesia beberapa waktu lalu sempat mengalami tingkat kecerahan udara. Hanya saja, lanjut dia, tingkat kecerahan tersebut berbeda dengan kota-kota di Eropa.

"Ini dikarenakan bahan bakar di Indonesia masih menggunakan bahan bakar kualitas rendah seperti premium yang merupakan sumber polusi. Jadi kita tertinggal dengan negara lain," katanya.

Menurutnya, salah satu solusi yang perlu diterapkan di Indonesia khususnya di kota-kota besar adalah penghapusan BBM berkualitas rendah.

Baca juga: KPBB dukung pengembangan kendaraan listrik kendalikan pencemaran udara
Baca juga: Syarat perpanjangan STNK diusulkan disertai hasil uji emisi