LSF ingin budaya sensor mandiri mengakar di masyarakat
23 Juli 2020 17:17 WIB
Seminar "Upaya Strategi Pemajuan Film Anak Indonesia" yang diselenggarakan Lembaga Sensor Film (LSF) di Jakarta, Kamis (23/7/2020). ANTARA/Indriani/pri.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto mengatakan pihaknya ingin agar budaya sensor mandiri dapat mengakar di masyarakat.
"Melalui budaya sensor mandiri, masyarakat dapat memilah tontonan sesuai dengan klasifikasi usianya," ujar Rommy dalam seminar "Upaya Strategi Pemajuan Film Anak Indonesia" di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan teknologi informasi yang sedemikian pesat memaksa masyarakat agar memiliki budaya sensor mandiri. Saat ini anak tidak hanya menonton melalui televisi, tetapi juga melalui internet.
"Mereka juga punya akses ke gawai, ada yang pakai password sendiri. Bahkan anak sekarang lebih pintar dari orang tuanya," kata dia.
Dia memberi contoh bagaimana budaya sensor mandiri tersebut, yakni jika anak berusia 13 tahun maka anak tersebut tidak akan mengakses tontonan untuk usia di atas 13 tahun.
LSF akan bekerja sama dengan banyak pihak untuk menyosialisasikan gerakan sensor mandiri tersebut. Melalui gerakan tersebut, masyarakat memiliki literasi terhadap tayangan.
LSF sendiri, lanjut dia, tidak lagi melakukan penyensoran seperti dulu atau secara konvensional, melainkan dengan paradigma baru.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti minimnya film atau tayangan untuk anak. Data LSF pada 2019 menunjukkan film untuk semua umur atau yang bisa ditonton oleh anak masih sedikit, hanya sekitar 10 hingga 14 persen.
Rommy menjelaskan insan perfilman lebih senang membuat film untuk kategori remaja dibandingkan untuk anak. Pasalnya ada perspektif yang menyebutkan film untuk kategori anak tidak laku di pasaran.
"Perspektif seperti itu yang perlu kita ubah. Anak juga hendaknya dapat mengakses film-film yang bermutu," kata dia.
"Melalui budaya sensor mandiri, masyarakat dapat memilah tontonan sesuai dengan klasifikasi usianya," ujar Rommy dalam seminar "Upaya Strategi Pemajuan Film Anak Indonesia" di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan teknologi informasi yang sedemikian pesat memaksa masyarakat agar memiliki budaya sensor mandiri. Saat ini anak tidak hanya menonton melalui televisi, tetapi juga melalui internet.
"Mereka juga punya akses ke gawai, ada yang pakai password sendiri. Bahkan anak sekarang lebih pintar dari orang tuanya," kata dia.
Dia memberi contoh bagaimana budaya sensor mandiri tersebut, yakni jika anak berusia 13 tahun maka anak tersebut tidak akan mengakses tontonan untuk usia di atas 13 tahun.
LSF akan bekerja sama dengan banyak pihak untuk menyosialisasikan gerakan sensor mandiri tersebut. Melalui gerakan tersebut, masyarakat memiliki literasi terhadap tayangan.
LSF sendiri, lanjut dia, tidak lagi melakukan penyensoran seperti dulu atau secara konvensional, melainkan dengan paradigma baru.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti minimnya film atau tayangan untuk anak. Data LSF pada 2019 menunjukkan film untuk semua umur atau yang bisa ditonton oleh anak masih sedikit, hanya sekitar 10 hingga 14 persen.
Rommy menjelaskan insan perfilman lebih senang membuat film untuk kategori remaja dibandingkan untuk anak. Pasalnya ada perspektif yang menyebutkan film untuk kategori anak tidak laku di pasaran.
"Perspektif seperti itu yang perlu kita ubah. Anak juga hendaknya dapat mengakses film-film yang bermutu," kata dia.
Pewarta: Indriani
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: