Aktivis: Ini Pemasungan Pers Gaya Baru
21 November 2009 14:57 WIB
Jurnalis yang tergabung dalam Koalisi Anti-Kriminalisasi Pers menggantungkan tanda pengenal saat melakukan aksi di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (20/11). (ANTARA/Yudhi Mahatma )
Medan (ANTARA News) - Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Farid Wajdi mengatakan, pemanggilan dua pimpinan media massa oleh polisi, berkaitan dengan pemberitaan hasil penyadapan pembicaraan Anggodo Widjojo, bernuansa membungkam pers dan merupakan pemasungan pers gaya baru.
"Ada kesan pemanggilan pimpinan Harian Seputar Indonesia dan Kompas karena media terlalu kritis dan terus menyorot proses penanganan kasus rekaman dugaan kriminalisasi pimpinan KPK," katanya kepada ANTARA di Medan, Sabtu.
Menurutnya, langkah polisi itu adalah sebuah pemasungan kebebasan informasi gaya baru dengan berlindung kepada upaya klarifikasi kasus rekaman yang dilakukan secara terbuka di sidang Mahkamah Konstitusi.
"Sangat terasa nuansa untuk membungkam kebebasan informasi dengan tangan besi dan `meminjam hukum?," jelasnya.
Dia menggambarkan pemanggilan itu sebagai pendekatan kekuasaan daripada sekadar mendapat informasi yang lebih sahih atas pemberitaan media.
"Begitu irasional, media dipanggil sekadar mempertanyakan, apa benar media memuat rekaman percakapan Anggodo dengan beberapa pihak yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi," katanya.
Farid juga menyebut pemanggilan itu sebagai teror psikologis terhadap media dan masyarakat.
Dia menambahkan, membungkam pers dan opini terbuka baik melalui email, facebook, surat pembaca atau berita, selain memberangus kebebasan pers juga melanggar hak asasi manusia dan merampas kemerdekaan masyarakat untuk mendapatkan informasi terbuka, adil, jujur dan berimbang.
"Memperkarakan media atas beritanya adalah tindakan berlebihan yang tidak akan membuahkan apa-apa, kecuali kisruh dan polemik yang tiada ujung. Energi dan pemikiran makin terkuras, urusan pembangunan pasti terlupakan," jelasnya. (*)
"Ada kesan pemanggilan pimpinan Harian Seputar Indonesia dan Kompas karena media terlalu kritis dan terus menyorot proses penanganan kasus rekaman dugaan kriminalisasi pimpinan KPK," katanya kepada ANTARA di Medan, Sabtu.
Menurutnya, langkah polisi itu adalah sebuah pemasungan kebebasan informasi gaya baru dengan berlindung kepada upaya klarifikasi kasus rekaman yang dilakukan secara terbuka di sidang Mahkamah Konstitusi.
"Sangat terasa nuansa untuk membungkam kebebasan informasi dengan tangan besi dan `meminjam hukum?," jelasnya.
Dia menggambarkan pemanggilan itu sebagai pendekatan kekuasaan daripada sekadar mendapat informasi yang lebih sahih atas pemberitaan media.
"Begitu irasional, media dipanggil sekadar mempertanyakan, apa benar media memuat rekaman percakapan Anggodo dengan beberapa pihak yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi," katanya.
Farid juga menyebut pemanggilan itu sebagai teror psikologis terhadap media dan masyarakat.
Dia menambahkan, membungkam pers dan opini terbuka baik melalui email, facebook, surat pembaca atau berita, selain memberangus kebebasan pers juga melanggar hak asasi manusia dan merampas kemerdekaan masyarakat untuk mendapatkan informasi terbuka, adil, jujur dan berimbang.
"Memperkarakan media atas beritanya adalah tindakan berlebihan yang tidak akan membuahkan apa-apa, kecuali kisruh dan polemik yang tiada ujung. Energi dan pemikiran makin terkuras, urusan pembangunan pasti terlupakan," jelasnya. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009
Tags: