Jakarta (ANTARA News) - Puluhan wartawan berunjukrasa di depan Markas Besar Kepolisian RI (Polri), Jumat, menolak dipanggilnya pemimpin redaksi Harian Umumm Kompas dan Seputar Indonesia (Sindo), karena pekerjaan wartawan tidak ada hubungan dengan kasus Anggodo Widjojo.

"Mahkamah Konstitusi membuka rekaman kepada publik. Jadi apa hubungannya transkrip dan rekaman dengan pemberitaan di media?" kata Suparni, wartawan koordinator aksi.

Suparni menyebut pemanggilan wartawan dan pimpinan media adalah bentuk intimidasi terhadap kebebasan pers yang justru dilindungi Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28.

Suparni menilai pemanggilan pimpinan media massa itu janggal karena masyarakat justru menghendaki Anggodo ditetapkan menjadi tersangka terkait rekaman percakapannya.

Ironisnya, polisi malah memanggil pimpinan media massa dan belum menetapkan tersangka terhadap Anggodo maupun pengacaranya, Bonaran Situmeang terkait rekaman percakapannya.

Dalam aksi itu, puluhan wartawan menanggalkan kartu tanda pengenalnya di depan gerbang utama Mabes Polri.

Mereka kemudian mengantungkan kartu persnya di pagar besi sebagai tanda penolakan intimidasi terhadap wartawan, serta membentangkan sejumlah spanduk bertuliskan "save journalist" atau "Anggodo dijamin, journalist diseret".

Sementara itu, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Mabes Polri, Irjen Nanan Soekarna menegaskan pemanggilan pimpinan media bukan untuk mengintimidasi wartawan dan tidak terkait dengan laporan Anggodo.

Nanan beralasan pemanggilan pimpinan media untuk memperkuat dan mengarahkan agar Anggodo sebagai tersangka dengan sangkaan enam unsur pasal pidana, yakni pencemaran nama baik, penghinaan, upaya percobaan penyuapan atau penyuapan, tuduhan fitnah dan ancaman terhadap seseorang.

Guna mendukung penetapan Anggodo sebagai tersangka, maka polisi harus mencari minimal dua alat bukti dan unsur pasal tindak pidananya.

Rekaman itu berisi percakapan Anggodo dengan sejumlah pejabat penegak hukum terkait dugaan rekayasa penetapan tersangka terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. (*)