Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta untuk tidak membiarkan krisis hukum yang sedang melanda Tanah Air tidak menjadi berlarut-larut demi kepentingan bangsa dan negara.
Ketua Badan Pengurus Transparency International Indonesia (TII), Todung Mulya Lubis, dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA News di Jakarta, Selasa, mengatakan, kini saatnya Presiden membuktikan bahwa dirinya tidak akan membiarkan krisis hukum berlangsung berlarut-larut.
Menurut Todung, alasan "prinsip non-intervensi terhadap proses hukum" tidaklah memadai digunakan untuk membiarkan krisis hukum terus berjalan.
Ia juga mengemukakan, saatnya Presiden membuktikan bahwa dirinya memiliki sense of crisis atau berpihak dengan tegas pada pemberantasan korupsi.
Anggota Tim Delapan itu mengingatkan, di tengah krisis fungsi kepemimpinan seorang pemimpin diuji antara lain dengan menunjukkan ketegasannya dalam bertindak.
Pernyataan Todung itu terdapat dalam kata sambutan dalam peluncuran Indeks Persepsi Korupsi 2009, di mana skor Indonesia meningkat dua poin dari 2,6 pada 2008 menjadi 2,8 pada 2009.
Skor Indeks Persepsi Korupsi memiliki skala antara 0 (sangat korup) hingga 10 (sangat bersih).
Indeks Persepsi Korupsi 2009 mengukur tingkat korupsi di 180 negara seperti yang telah dilakukan pada pengukuran pada 2008 dan 2007.
Indonesia berada di peringkat 111 dari 180 negara. Di tingkat ASEAN, Indonesia masih kalah dengan Singapura (3), Brunei Darussalam (39), Malaysia (56), dan Thailand (84).
Todung memaparkan, penelitian untuk Indeks Persepsi Korupsi 2009 itu diadakan sebelum berkecamuknya krisis hukum antara lain dalam kasus rekayasa yang menjerat dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah.
Sehingga, lanjutnya, hal itu tidak merefleksikan persepsi publik akan pemberantasan korupsi di Tanah Air dengan adanya prahara tersebut. (*)
Presiden Diminta Tidak Biarkan Krisis Hukum Berlarut-larut
18 November 2009 11:25 WIB
Todung Mulya (ANTARA)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009
Tags: