Pakar Epideomologi: Sulsel darurat COVID-19
15 Juli 2020 22:29 WIB
Analis Kesehatan RSUP Wahidin Sudirohusodo saat mengatur sampel untuk uji spesimen COVID-19 warga Sulsel di Makassar. ANTARA/Nur Suhra Wardyah/aa.
Makassar (ANTARA) - Pakar Epideomologi Universitas Hasanuddin, Prof Ridwan Amiruddin menyatakan bahwa Sulawesi Selatan sedang berada pada posisi darurat COVID-19 karena positif rate (PR) terhadap pemeriksaan spesimen di Sulsel mencapai sekitar 14 persen, bahkan di atas PR nasional yang hanya 12 persen.
"Angka ini tiga kali lipat dari standar PR terkendali secara nasional terhadap COVID-19 yang harusnya di bawah 5 persen. Kondisi ini adalah alarm darurat kesehatan masyarakat yang serius untuk ditindaklanjuti, tingkat positif rate Sulsel sudah tiga kali lebih besar dari standar nasional yang dipersyaratkan sebagai terkendalinya COVID-19," papar Prof Ridwan di Makassar, Rabu.
Ia mengatakan standar terkendalinya COVID-19 di suatu wilayah dari paramater surveilans harus dilihat dari tingkat positif rate spesimen yang diperiksa dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Tingginya PR ini indikasi terhadap tingkat penularan COVID-19 di masyarakat melalui transmisi lokal atau penularan komunitas dengan sumber penularan yang sudah tidak jelas dan tidak mengklaster, sehingga dalam perkembangan penegakan diagnosis, termasuk COVID-19 menjadi sangat penting.
"Semakin cepat pemeriksaan dilaksanakan, semakin cepat pula diagnosis ditegakkan agar penularan lebih cepat terkendali," ujar Prof Ridwan yang juga Ketua Tim Konsultan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Sulsel.
Dengan testing yang dilakukan secara agresif mampu memberi kontribusi terhadap landainya kurva pandemi secara bermakna. "Jadi bila kita menginginkan pandemi ini cepat selesai, lakukan testing untuk memastikan anda bukan penyebar COVID-19 atau tertular COVID-19, karena sesungguhnya virus corona ini diawali dengan testing dan berakhir dengan testing," paparnya.
Jadi, dorongan untuk meningkatkan cakupan testing minimal 1 persen dari seluruh populasi terus digaungkan untuk memisahkan penderita COVID-19 maupun warga yang sehat tanpa virus corona.
Prof Ridwan menyebutkan bahwa saat ini Sulsel harus memeriksakan 1 persen dari jumlah populasinya, yakni sekitar 80.000 pemeriksaan PCR. Sementara pemeriksaan PCR di Sulsel baru hampir 55.000 atau setara dengan 60 persen.
Oleh karena itu, menurutnya, upaya maksimal pada situasi ini harusnya dengan memperketat implementasi protokol kesehatan di seluruh wilayah, pembatasan pergerakan, dukungan sarana penegakan protokol kesehatan harus menjadi perhatian seluruh pemerintah daerah
Selain itu, menerapkan protokol kesehatan dengan konsepsi adaptasi kebiasaan baru tetap menjadi prioritas. Apalagi, Badan Kesehatan Dunia atau WHO telah merilis bahwa penyebaran COVID-19 juga bisa terjadi melalui udara. Beberapa studi menunjukkan bahwa COVID-19 mampu bertransmisi dan bisa melayang atau mengambang 12 jam di udara.
"Ini ada bukti penularannya, misal di restoran ketika dari meja satu ke meja lain, adanya AC sentral di ruangan dan tidak memiliki sirkulasi udara. Semakin nyaman ruangannya, virusnya juga semakin meningkat. Sekarang penyebaran virusnya sudah seperti TB," katanya.
Oleh karena itu, Prof Ridwan meminta masyarakat memberikan kepercayaan kepada pemerintah untuk bisa mengawal pencegahan penyebaran COVID-19 di Sulsel.
"Seharusnya masyarakat sekarang memperbaiki pola pikir, berhenti saling menyalahkan dan mengeluh, ini kedaruratan masyarakat yang belum menjelaskan pemberhentiannya," katanya.
Jumlah kasus COVID-19 per 15 Juli 2020 di Sulsel, ada penambahan kasus positif 160 orang, sehingga total kasus mencapai 7.460 orang, 251 diantaranya meninggal dunia. Sementara pasien sembuh 3.275 dengan penambahan hari ini 113 orang.
"Kurva di Indonesia masih akan tinggi, termasuk Sulsel, jadi harus saling mendukung dan optimistis bahwa kita sanggup keluar dari masalah ini," pungkasnya.
"Angka ini tiga kali lipat dari standar PR terkendali secara nasional terhadap COVID-19 yang harusnya di bawah 5 persen. Kondisi ini adalah alarm darurat kesehatan masyarakat yang serius untuk ditindaklanjuti, tingkat positif rate Sulsel sudah tiga kali lebih besar dari standar nasional yang dipersyaratkan sebagai terkendalinya COVID-19," papar Prof Ridwan di Makassar, Rabu.
Ia mengatakan standar terkendalinya COVID-19 di suatu wilayah dari paramater surveilans harus dilihat dari tingkat positif rate spesimen yang diperiksa dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).
Tingginya PR ini indikasi terhadap tingkat penularan COVID-19 di masyarakat melalui transmisi lokal atau penularan komunitas dengan sumber penularan yang sudah tidak jelas dan tidak mengklaster, sehingga dalam perkembangan penegakan diagnosis, termasuk COVID-19 menjadi sangat penting.
"Semakin cepat pemeriksaan dilaksanakan, semakin cepat pula diagnosis ditegakkan agar penularan lebih cepat terkendali," ujar Prof Ridwan yang juga Ketua Tim Konsultan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Sulsel.
Dengan testing yang dilakukan secara agresif mampu memberi kontribusi terhadap landainya kurva pandemi secara bermakna. "Jadi bila kita menginginkan pandemi ini cepat selesai, lakukan testing untuk memastikan anda bukan penyebar COVID-19 atau tertular COVID-19, karena sesungguhnya virus corona ini diawali dengan testing dan berakhir dengan testing," paparnya.
Jadi, dorongan untuk meningkatkan cakupan testing minimal 1 persen dari seluruh populasi terus digaungkan untuk memisahkan penderita COVID-19 maupun warga yang sehat tanpa virus corona.
Prof Ridwan menyebutkan bahwa saat ini Sulsel harus memeriksakan 1 persen dari jumlah populasinya, yakni sekitar 80.000 pemeriksaan PCR. Sementara pemeriksaan PCR di Sulsel baru hampir 55.000 atau setara dengan 60 persen.
Oleh karena itu, menurutnya, upaya maksimal pada situasi ini harusnya dengan memperketat implementasi protokol kesehatan di seluruh wilayah, pembatasan pergerakan, dukungan sarana penegakan protokol kesehatan harus menjadi perhatian seluruh pemerintah daerah
Selain itu, menerapkan protokol kesehatan dengan konsepsi adaptasi kebiasaan baru tetap menjadi prioritas. Apalagi, Badan Kesehatan Dunia atau WHO telah merilis bahwa penyebaran COVID-19 juga bisa terjadi melalui udara. Beberapa studi menunjukkan bahwa COVID-19 mampu bertransmisi dan bisa melayang atau mengambang 12 jam di udara.
"Ini ada bukti penularannya, misal di restoran ketika dari meja satu ke meja lain, adanya AC sentral di ruangan dan tidak memiliki sirkulasi udara. Semakin nyaman ruangannya, virusnya juga semakin meningkat. Sekarang penyebaran virusnya sudah seperti TB," katanya.
Oleh karena itu, Prof Ridwan meminta masyarakat memberikan kepercayaan kepada pemerintah untuk bisa mengawal pencegahan penyebaran COVID-19 di Sulsel.
"Seharusnya masyarakat sekarang memperbaiki pola pikir, berhenti saling menyalahkan dan mengeluh, ini kedaruratan masyarakat yang belum menjelaskan pemberhentiannya," katanya.
Jumlah kasus COVID-19 per 15 Juli 2020 di Sulsel, ada penambahan kasus positif 160 orang, sehingga total kasus mencapai 7.460 orang, 251 diantaranya meninggal dunia. Sementara pasien sembuh 3.275 dengan penambahan hari ini 113 orang.
"Kurva di Indonesia masih akan tinggi, termasuk Sulsel, jadi harus saling mendukung dan optimistis bahwa kita sanggup keluar dari masalah ini," pungkasnya.
Pewarta: Nur Suhra Wardyah
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020
Tags: