Baghdad (ANTARA News/AFP) - Anggota-anggota parlemen Irak hari Minggu menyetujui sebuah undang-undang mengenai pemilihan umum negara itu pada awal 2010, yang akan membuka jalan bagi tanggal pelaksanaannya, kata wakil ketua parlemen Khaled al-Attiya.

Attiya mengatakan di televisi pemerintah, 141 dari 195 anggota yang hadir memberikan suara yang mendukung undang-undang tersebut.

Pemilihan umum itu dipandang penting untuk mengukuhkan demokrasi yang tumbuh di negara itu menjelang penarikan pasukan tempur AS pada Agutus tahun depan dan penarikan penuh pada akhir 2011.

Pemungutan suara Irak direncanakan berlangsung pada 16 Januari, namun tanggal itu diragukan karena penundaan dan perselisihan menyangkut sistem yang digunakan dalam apa yang akan menjadi pemilu nausonal kedua sejak pengulingan pemerintah Saddam Hussein pada 2003.

Undang-undang itu diloloskan setelah penundaan beberapa pekan dan tekanan-tekanan yang terus dilakukan oleh PBB, para pemimpin agama dan AS. Duta Besar AS Christopher Hill menghadiri pertemuan parlemen Irak pada Minggu.

"Ada waktu untuk pembahasan dan ada waktu untuk keputusan," kata Hill sebelum pemungutan suara parlemen itu. "Hari ini adalah waktu untuk keputusan."

Pemilu awal tahun depan itu telah dibayang-bayangi oleh rangkaian kekerasan yang hingga kini masih terus terjadi.

Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum Januari.

Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun depan, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.

"Saya rasa kami tidak mengesampingkan keinginan kelompok-kelompok ini untuk melancarkan serangan besar karena mereka bisa mendapat banyak perhatian media dan itu juga merupakan upaya mereka untuk mengintimidasi rakyat," kata Johnson, deputi panglima operasi AS di Irak, dalam wawancara itu.

Ketika ditanya apakah ia memperkirakan gerilyawan berusaha melakukan pemboman seperti dua serangan bunuh diri yang menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober, ia mengatakan, "Saya tidak bisa berbicara mengenai apa yang mereka ingin lakukan, ini adalah hal-hal yang kami perkirakan akan mereka lakukan."

Serangan-serangan bom mobil di luar kementerian kehakiman dan kantor pemerintah provinsi Baghdad pada Minggu (25/10) itu terjadi setelah serangan-serangan serupa yang menewaskan sekitar 100 orang di kementerian-kementerian keuangan dan luar negeri pada 19 Agustus.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.

Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.

Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.

Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak.(*)