BPK indentifikasi 13 masalah pada LKPP Tahun 2019
14 Juli 2020 18:23 WIB
Ketua BPK Agung Firman Sampurna saat memberikan keterangan kepada awak media. di Gedung BPK, Jakarta, Jumat (4/7). Jumpa pers tersebut terkait dengan adanya keraguan terhadap kredibilitas dan independensi BPK RI atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ed/nz.
Jakarta (ANTARA) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengidentifikasi 13 masalah baik dalam sistem pengendalian internal (SPI) maupun kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019.
“Opini wajar tanpa pengecualian pada LKPP Tahun 2019 tidak berarti bebas dari masalah. Itu harus ditindaklanjuti,” kata Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna dalam Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa.
Masalah-masalah tersebut terdiri dari kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak dan pemerintah sebagai pemegang saham pengendali PT Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya belum diukur atau diestimasi.
Baca juga: BPK berikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian untuk LKPP Tahun 2019
Kemudian pengendalian atas pencatatan aset kontraktor kontrak kerja sama dan aset yang berasal dari pengelolaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) belum memadai serta pengungkapan kewajiban jangka panjang atas program pensiun pada LKPP 2019 Rp2.876,76 triliun belum didukung standar akuntansi.
Selanjutnya adalah penyajian aset yang berasal dari realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat sebesar Rp44,20 triliun pada 24 kementerian/lembaga (K/L) yang tidak seragam.
“Terdapat penatausahaan dan pertanggungjawaban realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat yang juga tidak sesuai ketentuan,” ujarnya.
Baca juga: BPK berikan empat catatan pada LKPP Tahun 2019
Berikutnya adalah penyaluran dana Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit (PPKS) selama 2016 hingga 2019 kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kementerian Keuangan belum sepenuhnya menjamin penggunaannya sesuai tujuan yang ditetapkan. “Termasuk ada dana PPKS yang belum dipertanggungjawabkan,” katanya.
Masalah lainnya yaitu terkait skema pengalokasian anggaran untuk pengadaan tanah Proyek Strategis Nasional (PSN) pada pos pembiayaan yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
“Investasi tanah PSN juga tidak sesuai dengan PP 63/2019 tentang Investasi Pemerintah,” tegasnya.
Baca juga: BPK sampaikan LHP atas LKPP Tahun 2019 kepada DPR
Masalah berikutnya yaitu ketidaksesuaian waktu pelaksanaan program maupun kegiatan dengan tahun penganggaran atas kompensasi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik.
Kemudian mengenai kelemahan dalam penatausahaan dan pencatatan kas setara kas, persediaan, aset tetap, dan aset tak berwujud terutama pada K/L.
Masalah yang teridentifikasi dalam K/L tersebut adalah penggunaan rekening pribadi untuk pengelolaan dana dari APBN, saldo kas tidak sesuai dengan fisik, sisa kas terlambat atau belum disetor, dan penggunaan kas tidak dilengkapi dokumen pertanggungjawaban 34 K/L.
"Terdapat ketidaksesuaian pencatatan persediaan dengan ketentuan pada 53 K/L dan pengendalian atas pengelolaan aset tetap pada 77 K/L yang belum memadai berdampak adanya saldo Barang Milik Negara yang tidak akurat,” jelas Agung.
Selanjutnya, BPK juga menemukan masalah ada surat tagihan pajak atas kekurangan setor yang belum diterbitkan oleh Ditjen Pajak dan keterlambatan penyetoran pajak dengan sanksi.
Berikutnya adalah mengenai pemberian fasilitas transaksi impor yang dibebaskan dan atau tidak dipungut PPN dan PPh pada Ditjen Pajak yang terindikasi bukan merupakan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis.
“Sehingga ada potensi kekurangan penetapan Penerimaan Negara dari Pendapatan Bea Masuk/Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) pada Ditjen Bea dan Cukai,” ujarnya.
Masalah lainnya yaitu terdapat kewajiban restitusi pajak yang telah terbit surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak namun tidak segera dibayarkan.
Masalah terakhir adalah ada pengelolaan penerimaan negara bukan pajak dan piutang serta penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja yang belum sesuai pada sejumlah kementerian/lembaga.
“Opini wajar tanpa pengecualian pada LKPP Tahun 2019 tidak berarti bebas dari masalah. Itu harus ditindaklanjuti,” kata Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna dalam Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa.
Masalah-masalah tersebut terdiri dari kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak dan pemerintah sebagai pemegang saham pengendali PT Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya belum diukur atau diestimasi.
Baca juga: BPK berikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian untuk LKPP Tahun 2019
Kemudian pengendalian atas pencatatan aset kontraktor kontrak kerja sama dan aset yang berasal dari pengelolaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) belum memadai serta pengungkapan kewajiban jangka panjang atas program pensiun pada LKPP 2019 Rp2.876,76 triliun belum didukung standar akuntansi.
Selanjutnya adalah penyajian aset yang berasal dari realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat sebesar Rp44,20 triliun pada 24 kementerian/lembaga (K/L) yang tidak seragam.
“Terdapat penatausahaan dan pertanggungjawaban realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat yang juga tidak sesuai ketentuan,” ujarnya.
Baca juga: BPK berikan empat catatan pada LKPP Tahun 2019
Berikutnya adalah penyaluran dana Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit (PPKS) selama 2016 hingga 2019 kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Kementerian Keuangan belum sepenuhnya menjamin penggunaannya sesuai tujuan yang ditetapkan. “Termasuk ada dana PPKS yang belum dipertanggungjawabkan,” katanya.
Masalah lainnya yaitu terkait skema pengalokasian anggaran untuk pengadaan tanah Proyek Strategis Nasional (PSN) pada pos pembiayaan yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
“Investasi tanah PSN juga tidak sesuai dengan PP 63/2019 tentang Investasi Pemerintah,” tegasnya.
Baca juga: BPK sampaikan LHP atas LKPP Tahun 2019 kepada DPR
Masalah berikutnya yaitu ketidaksesuaian waktu pelaksanaan program maupun kegiatan dengan tahun penganggaran atas kompensasi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik.
Kemudian mengenai kelemahan dalam penatausahaan dan pencatatan kas setara kas, persediaan, aset tetap, dan aset tak berwujud terutama pada K/L.
Masalah yang teridentifikasi dalam K/L tersebut adalah penggunaan rekening pribadi untuk pengelolaan dana dari APBN, saldo kas tidak sesuai dengan fisik, sisa kas terlambat atau belum disetor, dan penggunaan kas tidak dilengkapi dokumen pertanggungjawaban 34 K/L.
"Terdapat ketidaksesuaian pencatatan persediaan dengan ketentuan pada 53 K/L dan pengendalian atas pengelolaan aset tetap pada 77 K/L yang belum memadai berdampak adanya saldo Barang Milik Negara yang tidak akurat,” jelas Agung.
Selanjutnya, BPK juga menemukan masalah ada surat tagihan pajak atas kekurangan setor yang belum diterbitkan oleh Ditjen Pajak dan keterlambatan penyetoran pajak dengan sanksi.
Berikutnya adalah mengenai pemberian fasilitas transaksi impor yang dibebaskan dan atau tidak dipungut PPN dan PPh pada Ditjen Pajak yang terindikasi bukan merupakan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis.
“Sehingga ada potensi kekurangan penetapan Penerimaan Negara dari Pendapatan Bea Masuk/Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) pada Ditjen Bea dan Cukai,” ujarnya.
Masalah lainnya yaitu terdapat kewajiban restitusi pajak yang telah terbit surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak namun tidak segera dibayarkan.
Masalah terakhir adalah ada pengelolaan penerimaan negara bukan pajak dan piutang serta penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja yang belum sesuai pada sejumlah kementerian/lembaga.
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020
Tags: