Bandung (ANTARA News) - Jawa Barat berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp5,7 triliun dari sektor perdagangan akibat penghapusan bea masuk tekstil dan produk tekstil (TPT) asal China pada 2010 mendatang.

Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jabar, Ina Primiana, di Bandung Jumat mengatakan, Indonesia dan China telah menyepakati aturan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada 2002 lalu.

"Regulasi itu mengharuskan Indonesia menghapus bea masuk ke tujuh sektor manufactur termasuk tekstil yang efektif berlaku pada 2010," kata Ina dalam acara "Pembahasan Prospek dan Tantangan ACFTA Bagi Keberlangsungan Industri TPT" di ISEI Center.

Dengan aturan itu, lanjutnya, konsekuensinya, Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp35 triliun, dimana sekitar 56 persen diantaranya dari sektor tekstil dan produk tekstil.

"Jabar selama ini menjadi produsen tekstil dan produk tekstil terbesar di Indonesia, imbasnya jelas sangat signifikan. Totalnya potensi kehilangan pendapatan Jabar dari perdagangan ini sebesar Rp5,7 triliun," katanya.

Ina Primiana yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi Unpad itu menyebutkan, regulasi itu akan mematikan sektor TPT di Indonesia termasuk Jawa Barat.

"Pengusaha tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan industrinya, salah satunya akibat kalah bersaing dari produk tekstil China," katanya.

Ia menyebutkan tidak perlu waktu lama dampak kehancuran industri TPT akibat regulasi itu. Begitu diberlakukan regulasi itu kemungkinan besar industri tekstil di Jabar akan beralih ke sektor lain.

"Pemerinah sebaiknya melakukan langkah antisipasi, salah satunya meminta pengunduran pelaksanaan regulasi itu minimal hingga 2014," katanya.

Selama tenggang itu ada waktu bagi pemerintah dan pengusaha TPT untuk melakukan perbaikan di setiap sektor yang memungkinkan mereka meningkatkan daya saing produknya," katanya.

Ina yang juga pengasuh "Saung UKM Unpad" Bandung itu juga berpendapat pemerintah bisa mengajukan peninjauan untuk produk berdasarkan tingakt sensitivitasnya, salah satunya mengalihkan klasifikasi barang dengan bea masuk nol persen ke produk yang tidak terlalu mengancam produk dalam negeri seperti mantel dan wol.

Beberapa sektor telah mengajukan beberapa produk tertentu untuk diundur menjadi "sensitif track" dari sebelumnya "normal track" seperti produk baja dan tekstil serta produk tekstil.

Secara teori pengunduran ini memungkinkan dilakukan, namun perlu negosiasi ulang dengan Cina dan anggota ASEAN lainnya.

"Pengusaha akan tertekan oleh berbagai kendala internal maupun eksternal yang menyebabkan terus menurunnya daya saing produk," katanya.

Sementara itu sumbangan pendapatan sektor TPT pada 2008 mencapai Rp70 triliun dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1,3 juta orang.

Indonesia menempati peringkat ke-8 dari deretan negara-negara pengekspor TPT ke AS dengan volume sekitar 1,6 juta ton.

Di lain pihak, kata Ina, China saat ini memegang kinerja ekspor terbaik dimana perhatian pemerintahnya untuk pertumbuhan industri cukup tinggi dengan pemerian insentif hingga 30 persen, insentif upah pekerja serta yang lainnya.

"Hal itu mendorong daya saing produk mereka karena para pengusahanya telah mendapat keuntungan dari stimulus-stimulus yang digulirkan pemerintahnya," kata Ina.(*)