Surabaya (ANTARA News) - Ada apa dengan haji? Itulah pertanyaan yang menyeruak, saat empat anggota pemantau dari Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir di Asrama Haji Embarkasi Surabaya (AHES), 26 Oktober 2009.

"Ada empat anggota KPK yang akan datang ke sini selama lima hari, mulai 26 hingga 30 Oktober," kata Kepala Bidang Haji, Umrah, dan Wakaf (Hazawa) Kanwil Depag Jatim H. Najiyullah, M.Si.

Menurut Sekretaris Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Surabaya itu, keberadaan KPK yang mengawasi penyelengaraan ibadah haji di AHES akan membuat penyelengaraan ibadah haji lebih transparan.

"Pemantauan KPK untuk penyelengaraan ibadah haji itu wajar, karena penyelenggaraannya memang melibatkan banyak orang, uang, dan kepentingan lembaga-lembaga lain," paparnya.

Namun, pertanyaan pun tetap tersisa, sebab kedatangan tim Litbang KPK itu sempat mengecoh wartawan yang lama menunggu di ruang "VIP" di AHES (26/10).

Para wartawan yang menunggu sejak pagi itu berada di VIP asrama haji, karena Kepala Bidang Haji, Umrah, dan Wakaf (Hazawa) Kanwil Depag Jatim H. Najiyullah, M.Si, menunggu di ruang itu.

Ternyata, tim Litbang KPK itu langsung ke gedung paling belakang di asrama haji, kemudian mereka melihat proses penyelenggaran haji pada setiap gedung mulai dari gedung penerimaan dan kamar-kamar jemaah.

"KPK datang tidak selalu menindak, tapi kami memang diminta Depag RI pada Januari lalu untuk mencegah potensi korupsi dalam penyelenggaran haji mulai dari pendaftaran hingga pemulangan," kata fungsional Litbang KPK, Aida Ratna Zulaikhah.

Didampingi dua staf PPIH Embarkasi Surabaya, ia mengaku, sistem yang dipelajari antara lain sistem komputerisasi haji terpadu (siskohat), pendaftaran, bentuk-bentuk layanan, dan perundang-undangan.

"Itu kami lakukan mulai dari daerah, provinsi, pusat, hingga ke Arab Saudi. Nanti, hasilnya akan kami laporkan ke Depag RI untuk memperbaiki layanan yang dapat mencegah peluang terjadinya korupsi," paparnya.

Oleh karena itu, katanya, pihaknya akan datang ke Malang untuk mengetahui prosedur layanan haji di tingkat daerah, termasuk pandangan calon haji (calhaj) di tingkat daerah.

Ditanya tentang keluhan calhaj yang sempat ditemukan, ia mengatakan, keluhan calhaj antara lain adanya pungutan dalam penyelenggaraan haji di tingkat daerah.

"Tetapi, pungutan itu tidak selalu pelanggaran, karena transportasi lokal memang diserahkan ke daerah masing-masing, ada daerah yang membantu calhaj dengan dana APBD, tapi daerah yang tidak kaya membebankan kepada calhaj, sehingga ada calhaj yang membandingkan dan menganggap ada pungutan," tuturnya.

Transparansi keuangan
Pernyataan empat fungsional Litbang KPK yang semuanya perempuan itu, agaknya dibenarkan Wakil Ketua KPK, M. Jasin, yang berada di Surabaya pada 27 Oktober lalu,

"KPK mengirimkan tim investigasi ke Tanah Suci untuk memantau kinerja Depag dalam memberikan pelayanan kepada para jemaah haji asal Indonesia," katanya di sela-sela "workshop" mengenai "Strategi Implementasi Penanganan Konflik Kepentingan di Indonesia" itu.

Menurut dia, tim KPK itu terdiri atas tiga orang. Tim KPK yang dipimpinnya itu berada di Tanah Suci pada 13 November hingga 3 Desember 2009.

"Penyelenggaraan ibadah haji itu 98 persen berada di Tanah Suci, karena itu kami perlu mengirimkan tim ke sana," katanya.

Di Tanah Suci, tim akan menindaklanjuti adanya berbagai keluhan mengenai pelayanan ibadah haji, mulai pendaftaran, pengelolaan keuangan di bank, sistem embarkasi, pemberangkatan, pemondokan, konsumsi, hingga pemulangan.

"Kami tidak ingin mencari kesalahan Depag, tapi hanya ingin ada perbaikan pelayanan ibadah haji," katanya.

Ia mengaku, kajian KPK juga akan menyentuh besaran biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang banyak dikeluhkan masyarakat.

"Ada laporan bahwa ongkos perjalanan ibadah haji di negeri tetangga lebih murah. Kami ingin membuktikannya, apakah memang perjalanan ibadah haji di Indonesia itu bisa dibandingkan dengan negeri jiran," katanya.

Agaknya, pandangan KPK itu selaras dengan keinginan sebuah penyelenggara ibadah haji di Surabaya untuk adanya transparansi dalam masalah haji.

"Saya kira, Menteri Agama yang baru Suryadharma Ali perlu menjalankan transparansi dalam masalah haji," kata pimpinan KBIH (kelompok bimbingan ibadah haji) `Takhobbar" Surabaya, K.H. Imam Ghozali Said MA, kepada ANTARA di Surabaya (30/10).

Menurut dia, transparansi haji yang terpenting adalah transparansi keuangan haji yang selama ini dikelola Departemen Agama (Depag).

"Kalau perlu, uang BPIH yang disetorkan jemaah calon haji (calhaj) setiap tahun dilaporkan, karena setoran awal Rp20 juta per orang itu bila mencapai satu juta calhaj `kan sudah Rp20 triliun," katanya.

Oleh karena itu, lanjut pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya itu, Depag perlu membuat laporan tahunan tentang jumlah uang yang terkumpul, disimpan dimana, dan komponen BPIH itu digunakan apa saja.

Agaknya, partisipasi KPK dalam pengkajian masalah haji itu menyiratkan pentingnya transparansi haji, sehingga haji benar-benar menjadi ibadah yang relevan antara apa yang dibayarkan dengan fasilitas yang diterima.(*)