Denpasar (ANTARA News) - Delegasi RI akan terus mendesak para pihak dalam perundingan internasional perubahan iklim PBB di Barcelona, Spanyol, untuk bisa mencapai apa yang telah dimandatkan oleh konferensi perubahan iklim (UNFCCC) di Bali dua tahun lalu, pada pertemuan di Kopenhagen, Desember 2009.

Demikian ditegaskan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar selaku Ketua Delegasi RI pada Perundingan Internasional Perubahan Iklim PBB di Barcelona, Spanyol, 2-6 November 2009.

Dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Denpasar, Bali, Selasa, disebutkan bahwa tanpa komitmen serius Amerika Serikat dan negara maju lainnya dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca mereka, perundingan UNFCCC di Kopenhagen akan gagal menyelamatkan bumi.

Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang berlangsung Desember 2007 di Bali, menghasilkan kesepakatan "Bali Roadmap", yaitu sebuah jalan bagi semua negara yang telah menyepakati untuk dapat menjalankan tugasnya dalam penyelamatan planet bumi, dengan langkah-langkah mengurangi emisi CO2.

Perundingan di Barcelona ini merupakan seri perundingan terakhir sebelum pertemuan para pihak ke-15 di Kopenhagen yang diagendakan pada Desember 2009.

Menurut Rachmat Witoelar, kini sudah sedikit waktu yang tersisa dan Indonesia selaku penggagas "Rencana Aksi Bali" yang dihasilkan dua tahun lalu, akan terus mengupayakan pencapaian kesepakatan di Kopenhagen.

"Delegasi kita akan terus berupaya menjembatani perbedaan di antara para pihak dalam pencapaian tujuan global ini," ucapnya.

Sejalan dengan pandangan Indonesia, Menteri Perubahan Iklim dan Energi Denmark selaku Presiden COP-15 menegaskan kembali bahwa pertemuan Kopenhagen harus menghasilkan kesepakatan ambisius sesuai amanat "Mandat Bali".

Pada bulan Oktober yang lalu di Bangkok, UNFCCC belum berhasil menyepakati target global penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) jangka menengah dan jangka panjang.

Sementara itu perundingan mengenai kelanjutan Protokol Kyoto juga masih menemui "jalan buntu", karena keengganan negara maju merundingkan target mereka dalam fase komitmen kedua setelah tahun 2012.

Sudan selaku ketua koalisi negara berkembang (Kelompok 77) menyampaikan pernyataan keras bahwa langkah negara maju "membunuh" proses Kyoto merupakan pengingkaran atas komitmen mereka.

Selain itu juga terlihat ada upaya "penyanderaan" oleh negara maju terkait dengan isu komitmen mitigasi negara maju dan aksi mitigasi negara berkembang.

Negara maju mendesak negara berkembang terikat dalam rezim hukum perubahan iklim melalui satu kesepakatan yang menggabungkan elemen Protokol dan proses yang tengah berlangsung dalam kerangka "long term cooperative action".

Menurut Rachmat Witoelar, pihaknya akan terus mendorong penetapan target mitigasi negara maju paling sedikit 40 persen dari tingkat emisi mereka di tahun 1990.

Selain itu juga mengajak beberapa negara berkembang yang besar untuk melakukan aksi sukarela mitigasi perubahan iklim selaras dengan komitmen sukarela Indonesia yang diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada kesempatan KTT G-20 September lalu.

"Dalam kaitan ini, saatnya tiba untuk menjadikan pernyataan para pemimpin negara di berbagai forum internasional sebagai panduan perdebatan di meja perundingan. Kita siap berperan aktif membantu pencapaian kesepakatan dimaksud," tegasnya.(*)